Pages

Wednesday, November 4, 2015

Motivasi Bergabung dengan Asosiasi Profesi

Sewaktu membuka-buka jurnal Access oleh2 dari Australian dulu itu, saya tertarik dengan dengan salah satu artikel pendek hasil survey tentang apa yang memotivasi para School Librarian di Australia untuk bergabung dengan ASLA, Australian School Library Association. Ada banyak motivasi mereka ternyata, saya tidak akan ungkapkan disini. Saya jadi iseng ingin menanyakan hal yang sama ke anggota ATPUSI yang ada di grup WhatsApps ATPUSI RAYA.

Saya tunggu 2 hari atau samapai ada yang memposting masalah lain, sebelum saya menyimpulkan hasil survey kecil-kecilan. Karena kalau sudah ada yang memposting masalah lain, biasanya perhatian sudah teralihkan. Baiklah inilah hasil survey kecil-kecilan tersebut.

Pertanyaan survey saya adalah:
" Saya bergabung dengan ATPUSI karena... (silahkan selesaikan kalimat tersebut)."
Ada 9 orang yang merespon posting saya. Hal ini berarti hanya 18% dari jumlah anggota grup yang seluruhnya berjumlah 50 orang. Beberapa orang merespon dengan memberikan lebih dari 1 alasan (multiple reasons).

Saya kemudian menggolongkkannya dalam 12 kategori jawaban. Jadi berikut ini adalah alasan mengapa sebagian orang dalam grup ATPUSI RAYA bergabung dangan ATPUSI:


  • Belajar dari sesama rekan untuk memecahkan masalah yang dihadapi di tempat kerja
  • Meningkatkan kompetensi ( 4 orang)
  • Mempelajari tentang perpustakaan sekolah
  • aktualisasi diri sebagai Tenaga Perpustakaan Sekolah (2 orang)
  • Membesarkan asosiasi
  • Memasyarakatkan perpustakaan sekolah
  • Mengembangkan perpustakaan sekolah
  • Membantu Tenaga Perpustakaan Sekolah lain
  • Meningkatkan citra profesi tenaga perpustakaan sekolah
  • Berupaya untuk memecahkan masalah dalam dunia perpustakaan sekolah
  • Agar memiliki bargaining postion dalam berhadapan dengan pihak lain
  • Mewujudkan profesionalisme tenaga perpustakaan sekolah
  • Berkumpul dengan sesama rekan se-profesi
  • Memperjuangkan aspirasi
Mungkin hasil survey ini tidak bisa mewakili alasan atau motivasi seluruh anggota ATPUSI untuk bergabung dalam asosiasi profesi. Ini karena tingkat partisipasi yang bersuara yang rendah. Entah karena sibuk, tidak mengaanggap perlu atau merasa alasannya sudah terwakili. Dari sini saya menilai bahkan dalam lingkup sesama tenaga perpustakan sekolah, sebagain dari kita masih enggan bersuara. Atau tidak terbiasa "serius" dalam forum WhatsApp. Mungkin perlu penelitian lebih lanjut.



Thursday, February 19, 2015

Ringkasan Kursus: LIbrary Advocacy Unshushed. Week 1 - Values and Community

Advokasi yang efektif harus berdasar pada prinsip, nilai dan advokasi. Kepustkawanan yang baik itu bersifat transformatif. Artinya perpustakan dan pustakawan membuat perbedaan --perbedaan yang transformatif-- dalam kehidupan orang lain dalam komunitasnya.  Sayngnya tidak semua orangmenyadari hal tersebut. Masih banyak salah paham tentang perpustakaan dan layanan yang diberikannya. Kebanyakan orang mengira perpustakaan hanya sebatas tentang buku. Padahal meskipun layanan peminjaman buku adalah yang paling populer, itu bukanlah esensi perpustakaan. Menurut David Lankes (2012), misi perpustakaan adalah "membangun masyarakat dengan cara memfasilitasi pembentukan pengetahuan dalam komunitas". Ini merupakan misi yang besar, yang lebih dari sekedar menyediakan dan meminjamkan bahan pustaka. Ini adalah tentang menghubugkan manusia dengan ide dan dengan sesamanya.
Perpustakaan dan Pustakawan hadir untuk komunitas yang dilayaninya. Apakah itu perpustakaan umum, Perguruan Tinggi, sekolah atau lembaga penaungnya. Perpustakaan yang baik membuat perbedaan karena mereka "nyambung" dengan komunitasnya. Mereka paham dan dapat merespon kebutuhan komunitasnya karena mereka berkomunikasi dengan komunitasnya.

1. Nilai

Menurut Michael Gorman dalam bukunya "Our Endring Values", ada 8 nilai mendasar kepustakawanan, yaitu
  1. Kebebasan intelektual. Kepustakawanan mendukung kebebasan ekspresi pemikirana, hak asasi manusia untuk mengakses informasi yang tak populer dan tidak biasa serta materi yang mungkin kita sendiri tidak menyukainya.
  2. Privasi. Kita melindungi privasi orang dalam berinteraksi dengan sumber informasinya dengan ancaman pengawasan elektronik yang begitu mengepung kita.
  3. Literasi; yang merupakan pintu gerbang pemahaman dan pembelajaran.
  4. Rasionalisme. Kita bertekad mendukung dan membuat keptusuan berdasarkan bukti dan alasan. 
  5. Penatalayanan. Ini adalah nilai yang unik yang dimiliki kepustakawanan. Kit abukan hanyak sebagai penyedia layanan dan bahan pustaka tapi sebenarnya mengurus dokumentasi masyarakat untuk generasi selanjutnya.
  6. Persamaan. Perpustakaan dan Pustakawan mendukung persmaan akses ke berbagai pemikiran.
  7. Demokrasi. Perpustakaan yang baik menyediakan informasi dan memberdayakan pemilih dalam demokrasi.
  8. Layanan. Ini merupakan DNA kepustakawanan, yang mendasari kita untuk menggabungkan pengetahuan, empati dan dedikasi dalam konteks pemberian layanan di dunia yang serba materilistis ini.
David Lankes menekankan perlunya membuat sistem perpustakaan yang lebih partisipatoris. Pustakawan harus aktif dalam berhubungan dengan masyarakat dan merangsang tumbuhnya nilai partisipasi dalam komunitas. Jadi tidak sekedar menyediakan sistem dan layanan untuk komunitas.

2. Lingkungan Perpustakaan Dewasa ini 

Dewasa ini perpustakaan harus bersaing dengan institusi lain seperti lembaga kesehatan dalam hal penganggaran. Ada pihak-pihak yang mempertanyakan perlunya keberadaan perpustakaan. Perpustakaan umum, misalnya, kadang dianggap kurang penting dibanding lembaga kesehatan dan keamanan sehingga penganggarannya dikalahkan oleh anggaran kesehatan, pemadam kebakaran atau kepolisian.

Di Perguruan Tinggi, dimana seringkali disebut "perpustakaan adalah jantungnya universitas", perpustakaan dianggap kurang penting karena tidak berhubungan langsung dengan peningkatan jumlah pendaftaran mahasiswa dan kualitas hasil belajar.

 Di sekolah, perpustakaan kurang mendapat perhatian dan sudah pasti kurang anggaran.

3. Apa itu advokasi  

Kita (Pustakawan) mungkin sering menyampaikan betapa pentingnya perpustakaan melalui berbagai media. Tapi sebenarnya hal itu tidak dapat menjamin masa depan perpustakaan. Itu hanya salah satu bentuk promosi. Atau kita baru "kerepotan" saat perpustakaan dalam posisi terancam, entah itu akan ditutup atau dikurangi anggarannnya secara drastis.. Kita kemudian mengadakan kampanye "Selamatkan Perpustakaan". Padahal itu sudah terlambat. Pembahasan sudah selesai dan keputusan sudah diambil. Oleh karena itu, kita perlu memahami perbedaan anatar mempromosikan keberadaan perpustakaan dan beradvokasi.
  • Promosi adalah menyempaikan "Kami adalah demikian dan demikian, ini yang kami lakukan, ini cara bagaimana dan kapan mendapatkannya dan bahwa kami itu hebat". Contohnya informasi jam buka perpustakaan pada pembatas buku, brosur atau website.
  • Pemasaran diawali dengan pertanyaan seperti "apa yang anda butuhkan dan inginkan serta bagaimana kami memahami kebutuhan ini dan bisakah kami memberikannya". Dalam contoh mengenai jam buka perpustakaan adalah dengan mengadakan survey pengguna dan menganalisis penggunaan perpustakaan.
  • Advokasi berkaitan dengan promosi dan pemasaran tapi secar aumum advokasi adalah upaya memepengaruhi dalam suuatu permasalahan. Sebenarnya advokasi bukanlah upaya protes, tapi lebih sebagai upaya untuk secara terus menerus membangun relasi dan meningkatkan pemahaman para pembuat keputusan. Adalah adalah upaya membuat masalah atau keberadaan kita menjadi prioritas untuk dibahas oleh pengambil keputusan. Itulah sebabnya bisa jadi advokasi butuh waktu bertahun-tahun, kadang tidak kelihatan hasilnya atau malah jadi cemoohan orang. Contohnya advokasi mengenai persamaan hak wanita dalam pendidikan.

Dalam kepustakawanan, kita beradvokasi untuk anggaran, kebijakan atau hubungan. Biasanya kita memposisikan perpustakaan sebagai aset dalam masyarakat atau institusi penaungnya, kita sampaikan pada pembuat keputusan apa yang kita lakukan adalah prioritas masyarakat.
  • Kepada Pemerintah yang ingin meningkatkan ekonomi berbasis pengetahuan, kita advokasikan bahwa perpustakaan mendukung pembelajaran dab memfasilitasi pembentukan pengetahuan dan kreativiatas yang penting dalam perekenomian.
  • Kepada Perguruan Tinggi yang ingin memeprtahankan staf pengajar yang berkualitas tinggi kita sampaikan bahwa koleksi dan layanan perpustakaan merupakan alat untuk mencapai tujuan tersebut
  • Kepada Rumah Sakit yang ingin meningkatkan kualitas layanan dan perawatan, kita dapat meyakinkan bahwa diperlukan adanya Pustakawan Medis yang dapat membatu para dokter dalam diagnosis. 
Lobby merupakan bentuk khusus advokasi yang berkenaan dengan mempengaruhi pandangan dan keputusan legislator dan mereka yang berpengaruh.

Wednesday, January 14, 2015

Novel Young Adult

Sebenarnya sudah beberapa lama saya tertarik untuk mendalami lebih lanjut tentang buku remaja dan anak. Ini bermula dari keresahan saya sebagai Pustakawan sekolah di Indonesia yang tidak punya standar yang bisa dipakai untuk memilih buku remaja yang baik. Belum pernah saya tahu daftar buku yang sebaiknya dibaca remaja Indonesia. Sementara saya melihat ada beberapa lembaga atau media di luar negeri sana yang menerbitkan misalnya 100 best children/young adult book. Misalnya seperti yang diterbitkan oleh majalah Time baru-baru ini. Ini artikelnya.

Hari ini di tangan saya ada buku (novel) berbahasa Indonesia yang diberi embel-embel Young Adult. Terus terang, saat pertama memesan buku ini melalui Gramediaonline, embel-embel inilah yang menarik perhatian saya. Rupanya lini baru dari terbitan Gramedia, setelah sebelum teenlit, chicklit, metropop dan amore. Saya pikir ini ceritanya tentang remaja seperti cerita buku-buku untuk Young Adult terjemahan, ternyata young adult di sini benar-benar diterjemahkan secara harfiah, yaitu orang dewasa muda. Ini dilihat dari karakter buku ini yang merupakan anak kuliahan (mahasiswa). Sementara novel luar untuk young adult itu tokohnya biasanya remaja.

Saya kemudian jadi cari-cari informasi lebih lanjut, sebenarnya apa sih yang dimaksud dengan literatur atau buku untuk young adult ini? Berikut ini adalah hasil ‘tangkapan’ saya terhadap bebarapa tulisan yang saya temukan di internet. Oh, ya saya sengaja tetap menggunakan istilah Young Adult dan tidak mengartikannya sebagai remaja atau dewasa muda.

Menurut K. Bucher & M.L. Manning seperti yang dikutip education.com, kriteria novel young adult ini meliputi:

  • Menggambarkan usia dan perkembangan remaja yang ditunjukkan dengan tingkatan keterbacaan, pemikiran dan minat 
  • Menampilkan isu dan masalah kontemporer yang dihadapi remaja. Topiknya antara lain cara remaja berhadapan dengan orangtua atau figur dewasa lainnya, menghadapi penyakit dan kematian, menangani masalah tekanan teman sebayanya terutama dalam masalah dengan narkoba dan seks beserta akibatnya. 
  • Harus mempertimbangan pandang dunia berkenaan dengan keragaman sosial, kultural dan gender; isu lingkungan; politik global; dan keterkaitan internasional. 
Novel young adult merefleksikan perubahan yang dialami remaja. Mereka mencoba menjajal dunia dewasa dan belajar menerima konsekuensi dari tindakannya. Oleh karena itu, novel young adult menggambarkan pengalaman si tokoh yang berusia muda (remaja) dalam menghadapi masalahnya, berfokus pada tema yang diminati remaja dan menggunakan bahasa yang dipakai remaja. Biasanya memiliki plot dan karakter yang menarik.

Tujuan atau manfaat dari novel Young Adult ini antara lain:

  • Mengajarkan keragaman manusia dan dunia diluar komunitas mereka 
  • Sebagai bacaan hiburan 
  • Menunjukkan berbagai emosi manusia dan membuat mereka dapat merasakannya 
  • Menunjukkan realitas kehidupan manusia 
  • Memberikan pengalaman “semu” 
  • Memusatkan perhatian pada hal-hal penting yang menjaga keteraturan 
  • Menggambar fungsi institusi masyarakat 
  • Memungkinkan pembaca untuk menjelajah alam fantasi 
  • Memperkenalkan remaja pada penulis dan tulisan yang bermutu 
  • Meningkatkan daya analisis remaja terhadap karya sastra. 
Manfaat tersebut diatas hanya dapat dirasakan jika remaja benar-benar membaca.

Chuck Wendig dalam blognya “terribleminds” menuliskan 25 hal perlu kita ketahui tentang novel Young Adult, yang kemudian listnya bertambah menjadi 28. Berikut ini saya kutipkan sebagian yang menurut saya penting untuk lebih memahami novel Young Adult:


  1. Young Adult inu bukan genre, tapi pengelompokkan usia pembaca yang sesuai untuk jenis fiksi ini 
  2. Kelompok usia itu remaja. Biasanya yang disebut remaja adalah mereka yang berumur 12-18 tahun atau anak sekolah SMP-SMA. Catatan saya: Ternyata ada perbedaan persepsi tentang peruntukan usia untuk young adult ini. Ada yang mengatakan bahwa remaja(teens) itu untuk usia 12-14 dan dewasa muda (young adult) itu untuk 14+. Tapi ada juga yang menyebutkan bahwa novel young adult ini untuk usia 13-21 tahun. 
  3. Novel untuk Young Adult ini justru bisa memilik beragam genre, bisa fantasi-epik, percintaan, penyakit, alien, horor, misteri, sejarah, distopia (ini mungkin istilah yang agak asing buat kita, tapi cerita distopia banyak kita kenal melalui novel terjemahan seperti serial hunger games atau serial divergent). 
  4. Tokoh utamanya remaja 
  5. Biasanya sang tokoh ini memiliki masalah yang dihadapi remaja pada umumnya 
  6. Masalahnya bisa sex, obat dan minuman (ini karena yang dibahas adalah novel young adult barat lho ya..). Menurut Wendig, meskipun tidak semua remaja memiliki masalah tersebut, tapi masalah-masalah tersebut kenyataan ada dan dialami oleh banyak remaja. 
  7. Remaja itu hormonnya tidak stabil otaknya belum sempurna. Jadi bisa saja tindakannya sembrono yang pada akhirnya menimbulkan masalah buat dirinya dan lingkungannya. 
  8. Ingatkan kita dulu seperti apa waktu remaja dulu? Kurang lebih seperti itu juga lah dunia remaja sekarang. 
  9. Biasanya ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Ini karena remaja cenderung lebih menyukai narasi orang pertama. 
  10. Umumnya, tapi tidak selalu, cerita disampaikan dalam bentuk saat ini (present tense). Nah, ini agak sulit diterangkan karena bahasa Indonesia tidak mengenal tense atau perbedaan waktu.
  11. Lebih pendek, terutama untuk seri pertama dari buku serial 
  12. Umumnya lagi, tempo ceritanya lebih cepat dan lebih banyak dialog 
  13. Peran orang dewasa dalan novel remaja umumnya bukan sebagai tokoh sentral, tapi hanyak pendukung. 
  14. Kadang-kadang, si tokoh remaja berpikiran dewasa. 
  15. Tapi bertindak seperti remaja pada umum. Melakukan berbagai kesalahan, misalnya. 
  16. Cerita lebih berani keluar dari “jalur”, misalnya cerita twilight saga, dimana tokoh vampir digambarkan bukan sebagai sosok yang menyeramkan tapi tampan dan cantik. 
  17. Temanya bisa cukup berat seperti masalah agama, psikologis, sosial, kesehatan dan sebagainya yang sangat dialami juga oleh remaja. 
  18. Peruntukannya tidak bisa disamakan dengan film. Misalnya film Hunger Games bisa saja diperuntukkan bagi usia 17 tahun keatas karena cukup menggambarkan kekerasan. Catatan saya: mungkin ini kenapa adegan ciuman di buku terasa tidak vulgar dibanding dengan adegan yang sama di film. 
  19. Biasanya disukai atau dinikmati juga oleh orang dewasa 
Yang pasti novel ini bisa sangat populer dan menjadi best-seller.

Itu sekilas hasil bacaan saya dari beberapa artikel populer. Sepertinya saya harus baca tentang hal ini yang lebih ilmiah. PR selanjutnya.

 Sumber:

  • K.Bucher. (2014, May 5). Qualities of Young Adult Literatures. Diambil kembali dari Education.com: http://www.education.com/reference/article/qualities-young-adult-literature/
  • Wendig, C. (2013, June 4). 25 things you should know about Young Adult Fiction. Diambil kembali dari Terribleminds: http://terribleminds.com/ramble/2013/06/04/25-things-you-should-know-about-young-adult-fiction/