Arsitektur yang Berpusat pada Pengguna
Pada awalnya perpustakaan digital dan upaya pembangunan OPAC (Online Public Access Catalogues) memiliki pola seperti pada gambar berikut ini.
Gambar 1 Model Koleksi Digital "Tradisional"
Dalam model ini pengguna harus berinteraksi dengan masing-masing repositori secara terpisah, menggunakan sintaks (bahasa) penelusuran yang berbeda dan menginstal software yang digunakan oleh masing-masing repositori untuk membaca objek yang dimaksud. Model seperti ini sama sekali tidak
user-friendly.
Model yang
user-friendly tergambar dalam gambar berikut ini. Pada model ini, pemakai menggunakan sebuah
query tunggal yang menyebar ke berbagai repositori. Pemakai hanya perlu mempelajari satu jenis sintaks penelusuran. Pemakai juga tidak perlu menginstal
software yang berbeda. Model ini menggambarkan digital repositori yang interoperable.
Gambar 2.
Para pengembang telah membuat kemajuan yang cukup signifikan, khususnya dalam OPAC, untuk mencapai kondisi seperti yang digambarkan dalam Gambar 2. Dengan penerapan protokol Z39.50, pengguna dapat menggunakan satu sintaks penelusuran bahkan untuk yang repositorinya menggunakan bahasa yang berbeda. Protokol Z39.50 juga memungkinkan
query menyebar ke berbagai repositori. Namun, untuk penelusuran ke digital repositori masih perlu banyak perbaikan untuk mencapai interoperabilitas yang sebenarnya. Perlu penerapan berbagai standar, mulai dari standar metadata (administratif, struktural, identifikasi,
longevity), cara agar metadata tersebut dapat terbaca oleh sistem eksternal
(harvesting), hingga arsitektur yang sama yang mendukung interoperabilitas.
Proses umum dan tahap pengembangan tekmologi
Proses otomasi dari hal yang konvensional, apapun jenisnyanya, biasanya meliputi serangkaian tahap pragmatis dan tahap konseptual.
Penerapan tahap pragmatis dimulai dari penggunaan teknologi untuk mencoba cara baru dalam menjalan suatu fungsi, diikuti dengan pembangunan sistem operasional kemudian diikuti dengan membangun sistem operasional yang
interoperable. Pada tahap terakhir inilah, pengembang mulai membuat sistem tersebut dapat digunakan pemakainya. Pola seperti ini dapat kita lihat dalam pengembangan OPAC, layanan Indeks dan Abstrak dan penelusuran gambar. Proses otomasi dari hal tersebut dimulai dari eksperimen, diikuti dengan penerapan sistem operasional tertutup ( dengan sekumpulan pemakai yang mempelajari antarmuka pengguna dan sintaks tertentu untuk berinteraksi dengan sistem), dan diikuti dengan penerapan sistem yang memudahkan pemakai berinteraksi dengan berbagai sistem. Perpustakaan digital saat ini belum jauh beranja dari tahap eksperimental, masih banyak yang harus dilakukan agar benar-benar
interoperable dan berpusat pada pemakai.
Tahap konseptual biasanya berawal dari upaya untuk mengulangi kegiatan inti yang berjalan dalam lingkungan analog, kemudian diulangi pada sebagian fungsi analog tambahan, lalu (setelah beberapa waktu sistem digunakan) menemukan dan menerapkan fungsi baru yang tidak ada dalam lingkungan analog sebelumnya. Langkah terakhir inilah yang meyakinkan kita bahwa fungsi baru telah berjalan. Contohnya aplikasi pengolah kata, awalnya dibangun sebagai mekanisme penyimpanan pengetikan, tapi seiring waktu berkembang dengan berbagai fungsi seperti pengecekan ejaan, penelusuran revisi hingga fungsi yangbenar-benar berbeda seperti desktop publishing. Pengembangan MARC juga seperti itu. Awalnya dimaksudkan untuk memproduksi kartu katalog secara otomatis, lalu berkembang jadi penciptaan bibliografi dan union catalog, hingga jadi OPAC. OPAC tadinya berfungsi sebagai kartu katalog semata, ditambahkan penelusuran Boolean, kemampuan menelusur kata dalam judul hingga saat ini siap digunakan untuk membantu pemakai menelusur ke berbagai OPAC.
Arti Penting Standar
Agar perpustakaan digital dapat beroperasi, diperlukan adanya standar, baik untuk membuka arsip maupun untuk mengambil metadata (
metadata harvesting). Selain standar untuk penemuan metadata, diperlukan standar untuk fungsi lainnya, yaitu metadata struktural untuk membolak-balik halaman buku digital, metadata administratif untuk menjaga agar halaman-halaman buku digital tidak terpisah, dan metadata yang menggunakan sistem temu kembali gambar untuk membantu pemakai mencari warna, bentuk dan tekstur yang sama, dan lain-lain.
Ada beberapa alasan mengapa standar metadata dan standar lainnya diperlukan. Metadata administratif diperlukan untuk mengatur berkas digital sepanjang waktu, memastikan agar semua berkas terkait bersatu, dan untuk membantu agar file ini tetap dapat diakses saat software aplikasinya tidak dapat digunakan. Karena karya digital itu dapat berubah-ubah, pengembang perlu standar untuk meyakinkan pemakai bahwa karya tersebut belum diubah dan sesuai dengan peruntukannya. Pengembang juga perlu berbagai jenis metadata dan standar agar koleksi karya digital dapat diakses dan meyakinkan pemakai bahwa mereka dapat menelusur ke berbagai kumpulan koleksi. Kesepakatan standar ini juga bermanfaat secara ekonomis bagi vendor karena mereka dapat melengkapi kembali aplikasi untuk menyatukan metadata ini.
Jenis metadata
Sejak dulu perpustakaan telah bersepakat mengenai standar metadata. Mulai dari AACR yang digunakan untuk mendeskripsikan metadata bibliografis dan format MARC untuk memindahkan cantuman bibliografis tersebut. Sedangkan untuk standar penemuan metadara ada Library Congress Subject Heading and Sears List. Di akhir abad 21 ini. muncul jenis standar penemuan metadata untuk bidang khusus seperti Art and Architecture Thesaurus dan Medical Subject Heading. Keduanya dikembangkan secara online meskipun koleksi yang dirujuk tidak tersaji secara online.
Dengan penerapan teknologi internet, orang mulai mengusahakan agar pemakai dapat menelusur ke berbagai sumber online, terutama jika ada sumber yang dikatalog dengan detil dan ada pula yang secara singkat atau bahkan tidak sama sekali. Pada pertemuan di bulan Maret 1995 diputuskan Dublin Core sebagai pemersatu metadata yang memungkinkan penemuan dari berbagai jenis cantuman dan sumber digital.Cantuman katalog perpustakaan dan pengelolaan koleksi museum dapat disederhanakan agar tampak seperti cantuman Dublin Core, sementara cantuman DC untuk sumber seperti makalah penelitian dapat dengan mudah diciptakan atau malah secara otomatis dihasilkan oleh aplikasi pengolah kata. Yang belum dapat diwujudkan oleh Dublin Core adalah interoperabilitas antar website dan webpage individu dan organisasi. Dan karena Dublin Core sudah ada selama kurang lebih 7 tahun, ia dianggap paling baik dan paling dikenal dibanding jenis metadata lain yang diciptakan untuk sumber elektronik.
Dublin Core adalah salah satu bentuk metadata digital yangdapat diterapkan untuk koleksi digital maupun non-digtal. Selain itu ada jenis metadata yang dikembangkan khusus untuk koleksi dalam bentuk digital. Berikut ini akan dijelaskan beberapa jenis metadata yang penting dalam perpustakaan digital yang benar-benar interoperable.
Metadata struktural. Metadata ini digunakan untuk memenuhi ekspektasi pemakai akan sebuah karya digital. Pemakai tidak hanya perlu tampilan dari karya tersebut saja tapi juga perlu menelusuri ke dalamnya. Seperti halnya membaca buku, pemakai perlu membolak-balik isi karya digital, dari daftar isi ke halaman tertentu, dari catatan kaki ke bagian lain, dan seterusnya. Tanpa adanya metadata struktural, koleksi tersebut hanya berwujud seperti kumpulan hasil scan lembar-lembar buku.
Metadata administrative menyimpan informasi yang diperlukan untuk menjaga agar sebuah karya digital dapat terus diakses. Dalam hal buku digital, metadata administratif akan mencatat semua berkas yang merupakan bagian buku, dimana letak berkas tersebut dan format serta software aplikasi apa yang diperlukan untuk mengakses (membaca) buku tersebut. Metadata ini penting terutama saat terjadi perpindahan server.
Banyak pengelola perpustakaan digital yang lebih memilih menggunakan produk komersial seperti Adobe Acrobat daripada menggunakan standar metada administratif dan struktural yang bersifat
open. Padahal hal ini berbahaya bagi perpustakaan dan repositori karena produk komersial tidak terjamin keberlanjutan kompatibilitasnya.
Metadata identifikasi digunakan untuk mengelola berbagai versi dari sebuah karya digital. Karya digital yang sama dapat didistribusikan dalam berbagai format seperti HTML, Acrobat, XML atau MS Word untuk mendukung kebutuhan dan kemampuan pemakai yang berbeda; atau untuk meninjau gambar formatnya bisa berupa thumbnail, atau ukuran gambar yang besar/sedang. Sebuah objek dapat difoto dari sudut yang berbeda. Foto dari sudut yang sama bisa sedikit berbeda karena misalnya ada unsur tambahan seperti lalat yang menempel. Foto ini bisa dimanipulasi dengan menghilangkan perbedaannya (lalat) dari gambar tersebut. Foto-foto tersebut juga bisa dikompres secara berbeda,
lossy atau
lossless. Maka foto dari objek yang sama tersebut bisa sangat bervariasi formatnya.
Pengelola perpustakaan digital juga harus memperhatikan ketahanan sebuah karya digital. Di sini dibutuhkan metadata
longevity untuk menjaga ketahanan karya digital sepanjang waktu. Karya digital itu sifatnya ringkih maka perlu langkah pro aktif untuk menjaga keawetannya. Besser menyebutkan lima faktor yang mengancam ketahanan digital, yaitu masalah peninjauan, rebutan, inter-relasi, pengamanan dan penerjemahan.
Filosofi dan harvesting metadata: Warwick vs MARC
Selain sepakat atas standar metadata, perpustakaan digital yang
interoperable perlu menyepakati arsitektur dan pendekatan untuk membuat metadata tersebut tersedia untuk koleksi, perantara dan pengguna. Berikut ini akan dibahas dua pendekatan filosofis untuk metadata dan metode berbagi metadata dengan aplikasi dan pemakain luar.
Sejak lama perpustakaan menggunakan pendekatan filosofis MARC/AACR2 untuk metadata. Pendekatan ini menggunakan skema tunggal menyeluruh untuk semua karya dan pengguna. Saat ada jenis karya baru muncul, ditambahkan
field baru ke dalam kerangka MARC/AACR2, atau aturan
field tersebut diubah untuk mengakomodasi karya baru ini.Filosofi MARC/AACR2 ini adalah bahawa satu skema besar dapat memenuhi kebutuhan pemakai akan segala jenis karya. Pendekatan ini dikritik karena skemanya terlalu kompleks sehingga hanya dapat dipahami oleh spesialis (kataloger).
Belakangan muncul pendekatan lain dalam komunitas Dublin Core. Filosofi yang berdasar pada kerangka Warwick ini menekankan pada wadah yang saling terkait dan paket metadata, yang masing-masing dikelola oleh komunitas tertentu. Menurut filosofi ini, setiap komunitas dapat mendukung paket data yang diperlukan untuk keperluan tertentu sementara tetap saling bekerja dengan paket metadata dari komunitas lain. Dalam filosofi ini, Dublin Core berfungsi sebagai pemersatu metadata yang memungkinkan penemuan ke semua komunitas. Filosofi ini mendukung paket metadata yang bersifat modular, tumpang tindih, dapat diperluas dan berbasis pada komunitas.
Apapun pendekatan filosofis yang digunakan, koleksi perpustakaan digital menghadapi masalah pragmatis yaitu bagaimana metadatanya tersedia untuk koleksi lain dan software penelusur luar. Solusinya sementara ini adalah dengan mengekspor cantuman MARC ke utilitas bibliografis seperti OCLC atau RLIN dan pengguna luar menelusur melalui utilitas tersebut. Tapi, pemakai lama-lama menginginkan penelusuran di luar batas cantuman bibliografis seperti halaman web, dokumen pdf, gambar, database, dll. Oleh sebab itu, baik pendekatan Warwick atau pun MARC/AACR harus bisa mengembangkan metode pemanenan metadata yang memungkinkan cantuman yang diekspor dapat ditemukan oleh mesin pencari internet.
Praktik terbaik
Selain standar dan arsitektur, komunitas juga perlu menyepakati praktik terbaik agar koleksi digital lebih interoperable dan berkelanjutan. Salah satu prinsip praktik terbaik ini adalah setiap projek digital perlu mempertimbangkan pemakai, pemakai potensial, penggunaan dan karakteristik koleksi. Hal ini berarti bahwa saat projek digital dimulai harus diperhatikan masalah konversi digital dan penempatan metadatanya. Praktik terbaik untuk konversi digital pertama-tama dikembangkan oleh California Digital Library. Konsepnya dengan membedakan master dan turunannya, menyertakan target greyscale dan pengukurnya dalam pemindaian, menggunakan pengukuran objektif untuk pengaturan pemindai, menyimpan dalam format sama, dan menghindari kompresi.
Projek The Making of America II memperkenalkan ide bahwa metadata dapat dimulai dari bentuk yang paling mentah, seiring waktu melayu dan akhirnya matang. Hal ini meredakan kekhawatiran sekelompok orang bahwa skema metadata seperti METS terlalu berkembang dan menjadi rumit untuk dijalankan.
Masalah standar lain
Agar perpustakaan digital benar-benar interoperable dan lebih bisa bersifat seperti layanan konvensional, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan, yaitu keterbukaan arsip, pemanenan metadata, indentifikasi yang tetap, membantu pengguna menemukan salinan yang tepat dan otentikasi pemakai.
Metadata yang disimpan di sistem lokal kadang tidak dapat diakses oleh aplikasi eksternal. Hal yang menghambat interoperabilitas ini dapat diatasi oleh Open Archive Intiative dengan mengembangkan dan menguji protokol yang memungkinkan aplikasi dapat memanen data meskipun tersimpan di arsip yang dalam.
Web arsitektur berbeda dengan kebiasaan di perpustakaan dalam menunjukkkan lokasi sebuah karya. Perpustakaan memberikan lokasi relatif sedangkan web menyajikan lokasi yang persis, dari direktori, folder dan sub-foldernya. Ketika terjadi perbaikan web dengan mengganti nama folder atau mengatur ulang lokasi berkas, maka saat pencarian dengan menggunakan sistem URL terjadi kegagalan yang biasanya muncul dengan pesan 404 - File Not Found. Solusinya adalah dengan menggunakan sistem PURLS atau URNs. Namun tetap perlu ada upaya penamaan yang tetap, yang mampu menunjukkan sebuah karya dari namanya dan mampu membedakan berbagai instansiasi karya tersebut dengan lokasi fisiknya.
Di perpustakaan konvensional, pemakai yang mencari suatu koleksi yang tidak dimiliki perpustakaan tersebut atau sedang dipinjam dapat menggunakan layanan pinjaman antar perpustakaan atau layanan pengiriman bahan pustaka. Dalam perpustakaan digital, situasinya jauh lebih rumit. Pemakai memiliki lisensi yang berbeda terhadap suatu dokumen; suatu dokumen disediakan oleh beberapa agregator yang mempunyai lisensi yang berbeda; banyak konten digital yang disimpan oleh provider bukan oleh perpustakaan yang memiliki lisensi. Solusinya yang sudah ada saat ini adalah membentuk Open URL Standard Committee yang memungkinkan berjalannya query yang peka konteks.
Salah satu masalah standar dan protokol lain yang juga penting adalah otentikasi pemakai. Dengan semakin banyak konten digital berlisensi yang disimpan oleh provider, para provider ini menuntut agar pemakai yang mengakses konten tersebut benar-benar memiliki hak untuk itu. Otentikasi pemakai biasanya dilakukan melalui password dan IP address yang digunakan. Namun hal ini bisa memungkinkan provider melacak apa yang dibaca dan kebiasaan individu dalam mengakses. Hal ini bertentangan dengan tradisi etis perpustakaan yang menghormati privasi pemakai. Untuk mengatasi hal ini, Projek Shibboleth mengembangkan cara agar sebuah organisasi dapat mengotentikasi pemakai tanpa mengungkapkan identitas pemakai.
Tahap berikutnya: Peralihan dari Koleksi Digital yang Terpisah ke Perpustakaan Digital yang Interoperable
Perpustakaan konvesional memiliki komponen fungsional dan tradisi etis. Perpustakaan digital yang saat ini dikembangkan tidak akan benar-benar menjadi perpustakaan digital sampai komponen perpustakaan konvensional yang penting dan tradisi etis perpustakaan konvensional terintegrasi ke dalamnya.
Untuk komponen interoperabilitas, projek open archive, metadata harvesting, struktural dan administratif cukup menjanjikan. Untuk komponen penatalayanan koleksi, projek preservasi digital sudah dimulai tapi butuh waktu yang masih lama untuk bisa dikatakan bahwa kita dapat mempreservasi sebagain budaya kita dalam format digital. Untuk komponen lain seperti layanan bagi klien, baru sedikit menggores bagian dimana perpustakaan konvensial sudah menjalankannya dengan baik yaitu menyampaikan informasi kepada kelompok pemakai yang berbeda.
Banyak sisi tradisi etis perpustakaan seperti kekebasan berbicara, persamaan akses dan privasi yang belum muncul dalam pengembangan perpustakaa digital. Menurut Lawrence Lessig, pilihan yang dibuat arsituktur dan perancangan sistem akan membatasi pilihan sosial yang dibuat seputar penggunaan sistem tersebut di masa yang akan datang.
Upaya untuk menjunjung tradisi etis perpustakaan juga mendapat tantangan berupa komersialisasi hak milik intelektual. Dengan semakin besarnya komodifikasi informasi dan konsolidasi industri konten, semakin sedikit karya kreatif yang masuk ke wilayah domain publik dan semakin banyak yang harus membayar untuk mengaksesnya. Selain itu, komodifikasi dan konsolidasi membuat pemusatan pada karya yang paling laku dan mengurangi keberagaman karya. Pengembang perpustakaan digital harus dapat menyediakan konten yang beragam. Pengembang dan para ahli juga perlu terlibat agar lebih banyak konten yang keluar dari pasar dan masuk ke domain publik.
Pengembang perpustakaan digital juga perlu berperan sebagai penjamin hak individu untuk mengakses berbagai informasi. Mereka harus memperluas bentuk "persamaan akses terhadap informasi" berlaku juga di dunia digital serta memperkecil perbedaan antara "kaya" dan "miskin" dalam dunia digital.
Terakhir, dalam membangun perpustakaan digital, kita perlu mengingat bahwa perpustakaan bukan sekedar koleksi karya. Perpustakaan memiliki layanan dan tradisi etis serta nilai yang merupakan bagian penting dari fungsinya. Perpustakan saling berkerja (Interoperate_ satu sama lain untuk melayani kebutuhan informasi berbagai kelompok pemakai saat ini dan berharap dapat menjaga keberlanjutan hidup serta koleksinya hingga tetap dapat melayani sampai 100 tahun yang akan datang. Mereka membela hak pemakai untuk mengakses konten sambil tetap menjaga privasi. Koleksi digital yang dibangun tidak akan menjadi perpustakaan digital sampai menyertakan layanan dan tradisi etis ini.