Pages

Thursday, July 16, 2020

Webinar (yang kuhadiri) dan waktu ke waktu

Saat pandemi Covid 19 melanda, hampir semua sektor mati suri atau tiarap. Termasuk sektor pendidikan. Sekolah diliburkan, eh maksudnya siswa belajar dari rumah (BDR) atau PJJ (Pembelajaran Jarak jauh). Guru pun mengajar dari rumah. Pustakawan (sebagian) ada yang bekerja dari rumah, ada yang memang benar-benar di rumahkan.

Aplikasi atau web tools teleconference pun menjadi booming. Bukan hanya digunakan siswa dan guru untuk belajar dan mengajar di rumah tapi juga digunakan para pekerja kantoran dan pebisnis untuk mengkomunikasikan pekerjaannya dari rumah. Selain itu, yang juga booming adalah seminar,
atau lebih tepatnya webinar. Dalam masa pandemi yang berlangsung mulai pertengahan maret, entah sudah berapa ratus atau ribu webinar diselenggarakan berbagai pihak. Dari yang gratis hingga yang berbayar. Yang gratis sudah pasti diserbu peserta yang ingin mengembangkan diri, keterampilan profesi, mencari keseruan di tengah ketidakbisaan kemana-mana atau yang sekedar gemar mengumpulkan sertifikat.

Awalnya saya pun antusias mengikuti beberapa webinar. Tapi tidak lama. Tema webinar yang ditawarkan di bidang perpustakaan banyak seputar peran perpustakaan di masa pandemi. Awalnya menarik, lama-lama tidak, bosen 😁. Tapi antusiasme ini mengingatkan saya pada saat belajar tentang kepustakawanan secara online bertahun-tahun yang lalu.

Pertama kali saya belajar secara online di tahun 2010 melalui tappedin, sebuah website yang mewadahi kolaborasi antar pendidik, pustakawan dan komunitas internasional lainnya. Di dalamnya ada berbagai ruang belajar (diskusi). Saya mengetahui ini dari milis IASL (International Asscociation of School Librarianship). Dr Lesly Farmer yang menginformasikan ini karena beliau memimpin beberapa room diskusi. Waktu itu diskusi hanya melalui jalur chat, jadi harus ngetik.
Ini yang bikin saya PD aja ikut diskusi berbahasa Inggris. Paling-paling, saya agak keteteran dalam menggunakan emoticon. Sampai saya mencatat emoticon-emoticon tersebut dan artinya. Oh ya waktu itu emoticon dibuat dengan mengetik gabungan beberapa karakter, seperti :) untuk senyum.
Ada emoticon hug, wave dll. Admin-nya ramah-ramah. Diskusi biasanya berlangsung malam hari waktu di negara mereka (USA). Jadi kadang-kadang disambi cuci piring atau nonton pertandingan olahraga di TV.

Pengalaman belajar di sana sangat menyenangkan. Meskipunnya judulnya Visual literacy, tapi tidak terlalu teknis. Kadang jadi meluas ke kajian lain-lain seperti saat diskusi tentang nama geografis. Saya sangat terbantu dengan adanya transcript dari setiap diskusi yang kita ikuti yang dikirim ke email kita, meskipun kita tidak tuntas mengikutinya. Jadi saya bisa mempelajari kembali apa yang sudah dibahas.

Di tahun 2011, saya pertama kali mengenal dan mengikuti webinar. Penyelenggaranya KB Enterprise, sebuah lembaga konsultasi & training di Australia yang didirikan oleh Karen Bonano. Sejak itu saya beberapa kali mengikuti webinar yang diselenggarakan oleh KB Enterprise ini. Tentu saja yang gratis, kecuali satu kali pernah ikut yang berbayar karena materinya sangat saya perlukan. Untuk durasi webinar selama 1 jam, lumayan lah kalau dirupiahkan biayanya. Webinar-webinar ini menggunakan aplikasi gotomeeting. Hampir sama dengan aplikasi yang sekarang banyak digunakan yaitu zoom dan google meet, hanya saja tidak menggunakan video dan hak untuk bicara hanya diberikan pada narasumber, moderator dan host. Saya tidak tahu apakah memang belum ada video nya atau karena gratis jadi hanya audio fasiltasnya. Tapi ada share presentasi dari narasumber sih.

Pengalaman belajar lain yang juga sangat berkesan buat saya adalah ketika mengikuti kuliah/kelas online di EdX pada tahun 2015. EdX adalah sebuah penyedia MOOC (Massive Open Online Course) alias ruang belajar terbuka daring yang dibuat oleh Harvard & MIT. Waktu itu ada tawaran free course "Library Advocacy Unshushed". Kuliahnya berlangsung selama 6 pekan. Tiap pekan ada tugas yang harus di-submit. Setelah final assignment, course ini berakhir di bulan Maret. Alhamdulillah, saya berhasil menyelesaikan semua quiz dan assigment nya dan berhak mendapatkan Honor Code Certificate. Buat saya kuliah ini seperti pemanasan untuk kuliah S2 yang saya rencanakan untuk saya ambil di tahun itu.

Setelah itu saya sibuk dengan kuliah S2 saya. Yang saya rasakan lumayan berat untuk usia saya yang tidak lagi muda. Teman kuliah saya ada yang baru lulus S1. Ada beberapa webinar yang saya ikuti, tapi tidak terlalu berkesan. Bahkan ada beberapa tawaran webinar yang terlewat (padahal sudah subscribe milis-nya).

Tahun lalu sempat ikut VCT, Virtual Coordinator Training, yang sebenarnya untuk guru-guru belajar dan sharing pengetahuan secara online. Kegiatan ini disenggarakan oleh SEAMOLEC. Disini saya berkenalan dengan aplikasi teleconference lain, yaitu Webex. Sayangnya, saya tidak berhasil menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan karena sibuk dengan kegiatan lain yang tidak bisa ditinggal.

Ketika pandemi melanda baru semangat ikut webinar lagi. Kali ini dengan dengan platform yang lebih beragam, yaitu webex, zoom  dan google meet. Tapi ya gitu, sekarang sudah gak terlalu semangat lagi. Kecuali kalau tema nya memang sesuai minat dan kebutuhan.

Wednesday, October 10, 2018

Ketika Pustakawan (sekolah) galau

Saya lagi galau
Mestinya kami senang ketika perpustakaan selalu penuh dikunjungi 
Berarti tingkat kunjungan kami tinggi.
Tapi saya galau
Haruskah saya senang saat mereka hanya internet yang mereka cari?

Saya juga galau
ketika guru-guru mempercayakan muridnya untuk mencari sendiri
informasi atau jawaban atas pelajaran yang di tugasi
dari internet atau mesin pencari
Tanpa bimbingan bagaimana mencarinya,
bagaimana memahami relevansinya
dan bagaimana menilai kesesuaiannya
dan tak peduli apakah murid mengerti pertanyaannya
apalagi jawabannya.

Saya galau
ketika guru berkata kepada muridnya, "cari saja di internet. pasti ketemu"
"Nilai 100 jika selesai tugasmu"
Padahal tampa bimbinganmu
Murid tak tahu apakah dia tahu

Saya galau
mungkin karena saya sok peduli
karena saya sok mengerti inkuiri

Saya galau
ketika tahu harusnya guru dan pustakawan berkolaborasi
dalam pelajaran berbasis inkuiri
paling tidak dikonsultasi
agar pembelajaran lebih berarti dan dimengerti
bukan sekedar dihafal dan diamini

Saya galau?
ataukah sebenarnya kehilangan kepercayaan diri
merasa tidak dianggap dan tidak berarti?
Ah, sepertinya saya memang harus belajar lagi.....

Thursday, October 19, 2017

Pustakawan sekolah akan punah?

Satu postingan dari mantan bos saya pak Ahmad Rizali dan postingan yang banyak beredar dari pak Rhenald Kasali membahas masalah yang sama yaitu tentang pekerjaan yang hilang akibat disruption. Dalam artikelnya. pak Rhenald Kasali menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan yang akan hilang adalah pustakawan. Menurut saya pustakawan dalam arti orang yang bekerja di perpustakaan yang mengerjakan teknis dan layanan perpustakaan secara konvensional adalah yang kemungkinan besar bisa tergantikan di masa depan. Mungkin kita sudah pernah mendengar bahwa robot bisa menggantikan tugas shelving di perpustakaan. Keluhan yang baru-baru ini saya dengar adalah peran pustakawan dalam mengembangkan program literasi sekolah diambil alih oleh guru/sekolah. Apakah ini salah satu tanda bahwa ramalan tersebut benar?

Pertama kali membaca artikel pak Kasali tersebut saya sih tetap optimis bahwa pustakawan tidak akan tergantikan, tapi dengan catatan bukan pustakawan konvensional melainkan pustakawan yang selalu mengikuti perkembangan ilmu informasi. Terus terang pustakawan sekolah yang saya kenal dalam lingkungan komunitas kebanyakan adalah pustakawan konvensional. Jarang memang pustakawan sekolah yang memilih latar belakang ilmu perpustakaan dan informasi setingkat sarjana apalagi magister di perpustakaan. Mereka ini lah yang sering merasa terancam perannya tidak diakui atau digantikan otoritasnya (dalam arti jabatannya sebagai kepala perpustakaan) oleh guru.

Di waktu yang sama saya juga kebetulan berkunjung ke blog salah satu teacher librarian yang cukup terkenal (tapi tidak di Indonesia) yaitu Buffy Hamilton dengan blognya the Unquiet Librarian. Mengikuti portofolio dan presentasinya semakin meyakinkan saya bahwa pustakawan yang bisa seperti ini tidak akan tergantikan profesinya. Saya jadi kemudian gelisah dan berpikir keras bagaimana caranya bisa mengajakan teman-teman pustakawan untuk membenahi pola pikir dan meningkatkan kompetensi profesinya. Saya merasa sangat tidak puas dengan peran ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) dalam hal ini. Ini adalah periode kedua saya menjabat sebagai salah satu pengurus pusat asosiasi ini. Dan saya merasa belum berbuat banyak.

Dalam grup WhatsApp, saya berharap kami bisa saling sharing tentang isu-isu kepustakawanan. Tapi yang sering terjadi diskusi panjang yang berawal dari keluhan yang ditanggapi dengan keluhan lagi. Sudah pasti sering terjadi postingan yang tidak berkaitan dengan masalah kepustakawanan sama sekali seperti postingan dakwah atau lelucon. Apalagi kadang suka ada postingan "jualan", baik yang terselubung ataupun terang-terangan. Saya amat kesal jika itu terjadi.

Kembali ke masalah disrupsi, saya sih tetap optimis bahwa pustakawan sekolah akan bertahan dalam beberapa puluh tahun ke depan. Dengan catatan para pustakawannya berkembang dan berperan menjadi guru pustakawan yang sebenarnya. Yang saya maksud sebagai guru pustakawan yang sebenarnya adalah pustakawan sekolah yang memahami pendidikan, kurikulum dan proses belajar mengajar di sekolah. Guru pustakawan yang mengambil peran sebagai leader minimal sebagai mitra guru dalam pembelajaran. Dan pustakawan sekolah kita masih jauh dari posisi ini. Selain perlu membekali diri dengan ilmu pendidikan, kita juga harus melek informasi dan digital.

Prediksi bahwa profesi pustakawan akan terdisrupsi mungkin akan terwujud pada akhirnya. Tapi saya berharap bahwa itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Buat teman-teman pustakawan sekolah, marilah kita berkembang. Mengembangkan kompetensi diri dan profesional kita sebagaimana mereka yang ada di negara maju. Jangan sampai kita layu sebelum berkembang. :)


Sunday, July 9, 2017

(Membantu) Menemukan Aha! Moment

Beberapa hari yang lalu di salah satu WAG yang saya ikuti, ada diskusi yang lumayan hangat tentang peran pustakawan sekolah. Bermula dari posting seorang anggota yang mempertanyakan sikap ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) tentang Permendikbud No. 23 Tahun 2017. Pertanyaan bernada menggugat tersebut berlanjut dengan keluhan tentang peran tenaga perpustakaan sekolah yang "belum dianggap" oleh Kepala Sekolah. Diskusi selanjutnya menurut saya menggembirakan, karena tidak banyak yang mengikuti keluhan tersebut. Alih-alih menyambut keluhan dengan dengan keluhan, beberapa anggota malah "menyalahkan" keluhan tersebut dan menganjurkan sebaiknya berpikir positif dan menjawab tantangan tersebut dengan kerja sehingga orang lain akan memandang profesi kita.

Memang biasanya di banyak kesempatan pertemuan perpustakaan sekolah, selalu muncul berbagai keluhan. Tapi sekarang saya melihat mulai ada angin segar. Pertanyaan bernada curhat masih ada, tapi sudah mulai banyak yang lebih bernada positif. Banyak tenaga perpustakaan sekolah yang sekarang sudah lebih pede, terutama yang muda-muda.

Percakapan melalui WA tentang peran ini masih berlanjut dengan japri dengan seorang rekan yang sedikit mengeluhkan kondisi di sekolahnya. Dia merasa perpustakaan (Pustakawan) kurang dilibatkan dalam program sekolah. Sampai-sampai dalam program GLS (Gerakan Literasi Sekolah) saja perannya dirasa kurang, padahal ini kerjaan sehari-harinya pustakawan.

Sebenarnya kondisi di sekolah saya pun tidak jauh berbeda,. Tapi entah kenapa saya bisa memandang dari sisi lain. Saya bisa menerima jika saya tidak langsung dilibatkan dalam program sekolah. Misalnya dalam program GLS dimana sekolah kami menerjemahkannya dengan program kerja sebagai berikut:
- Silent reading selama 60 pada hari Jum'at
- Wajib baca dan review buku minimal 5 judul setiap semester
- Membuat Reading Tree di tiap kelas
- Menyediakan Sudut Baca (Reading Corner) di beberapa lokasi di sekolah dan asrama.

Apakah pustakawan dan perpustakaan terlibat langsung dalam semua kegiatan tersebut? Tidak. Silent reading dipimpin dan diawasi Guru (wali kelas) dalam pelaksanaannya. Perpustakaan berperan dalam menyediakan buku bacaannya. Bagaimana dengan review buku? Saat ini kami baru berfokus pada guru. Jadi yang ada tagihannya baru guru. Guru diharapkan membaca dan membuat review buku. Perpustakaan menyediakan media atau platformnya. Berdasarkan kesepakatan, platform penulisan review buku adalah blog. Perpustakaan menyediakan blog khusus, dalam hal ini kami membuatnya di Google site, dimana guru dapat memposting review bukunya. Di akhir semester kami merekap jumlah review yang dibuat guru. Review ini menjadi salah satu poin penilaian kinerja guru. Jadi gak main-main lho...Bisa dilihat disini blognya.

Dalam hal Reading Tree dan Reading Corner, perpustakaan merancang bentuk raknya (meskipun saya gak merancang sendiri sih, tapi nyontek dari gambar-gambar yang ada di Pinterest) dan memesannya.

Dalam penerapan literasi informasi, saya berhak bangga karena literasi informasi sudah dianggap sebagai salah satu learning tools yang harus dimiliki oleh civitas akademika sekolah saya. Sekolah kami merancang kurikulum khusus sesuai visi misi kami dimana literasi informasi tercantum di dalamnya. Bahwa dalam pelaksanaanya saya masih belum puas karena masih kurang waktu untuk mengajarkan keterampilan ini kepada siswa, sepertinya saya harus berlapang dada. Dengan padatnya tuntutan kurikulum, sulit bagi sekolah menyediakan slot khusus untuk kelas literasi informasi. Tapi saya diberi tugas untuk memahamkan pentingnya literasi informasi ini kepada semua guru. Sehingga literasi informasi menjadi salah satu materi bagi orientasi guru baru di sekolah kami.

Terakhir saya akan ceritakan sesuatu berkenaan dengan judul di atas. Saya menganggap banyak guru-guru di sekolah saya yang sudah mengerti literasi informasi dan menerapkannya dalam pembelajaran. Ada seorang guru yang menurut saya kreatif, pembelajarannya efektif dan disukai murid-murid. Meskipun tidak menyebut istilah literasi informasi, dia menerapkannya dalam proses belajar mengajar. Sering muridnya diajak belajar di perpustakaan dengan menggunakan berbagai koleksi perpustakaan, seperti buku, majalah dan komputer/internet. Konsep literasi informasi diterapkan dalam bentuk tidak boleh copy paste, tapi harus menyarikan informasi yang didapat. Memilih sumber informasi harus yang sesuai. Kadang kala dia telah mempersiapkan situs yang harus diakses muridnya. Maka saya turut gembira saat dia terpilih mewakili provinsi untuk OGN bidang bahasa Inggris.

Barusan dia datang ke perpustakaan. Dia bercerita bahwa penulisan best practice yang harus disampaikan harus dalam bentuk formal seperti karya tulis ilmiah. Padahal menurutnya best practice bisa ditulis dalam bentuk paparan sederhana yang menjelaskan prosesnya. Dalam hal ini saya setuju sih, saya juga gak suka yang ribet-ribet dan formal. Tapi namanya aturan harus diikuti, suka atau tidak suka. Jadi kami pun berdiskusi tentang apa yang bisa dia lakukan. Adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya saat di akhir diskusi dia menemukan apa yang dapat dibuat dengan penulisan best practice yang diminta dalam lomba tersebut. Dia telah menemukan Aha! moment-nya. Karena saya? Bukaaan... saya cuma terlibat dalam dalam prosesnya saja. Dan situlah peran saya.

Harus diakui, profesi pustakawan adalah profesi yang jauh dari hingar bingar selebrasi. Apalagi pustakawan sekolah. Jika guru sering di-apresiasi oleh siswa (dalam bentuk diberi hadiah) saat kenaikan kelas atau kelulusan, pustakawan hampir tidak pernah mendapatkannya. Begitu juga mungkin pustakawan di instansi lain. Adakah yang ingat pustakawan  saat seorang pengacara berhasil memenangkan sebuah kasus, saat peneliti menyelesaikan penelitiannya atau saat mahasiswa lulus dalam sidang skripsi/tesis/desertasinya? Menurut saya profesi ini adalah profesi yang sunyi. Tapi saya tetap memilihnya dan mencintainya. Semoga bisa jadi amal dan sumbangsih kita pada komunitas dan masyarakat dimana kita berkiprah. So keep up the good work, friends...

Thursday, May 12, 2016

Perpustakaan Digital: Sejarah, kondisi dan masa depannya. Part 2

Arsitektur yang Berpusat pada Pengguna

Pada awalnya perpustakaan digital dan upaya pembangunan OPAC (Online Public Access Catalogues) memiliki pola seperti pada gambar berikut ini.


Gambar 1 Model Koleksi Digital "Tradisional"


Dalam model ini pengguna harus berinteraksi dengan masing-masing repositori secara terpisah, menggunakan sintaks (bahasa) penelusuran yang berbeda dan menginstal software yang digunakan oleh masing-masing repositori untuk membaca objek yang dimaksud. Model seperti ini sama sekali tidak user-friendly.

Model yang user-friendly tergambar dalam gambar berikut ini. Pada model ini, pemakai menggunakan sebuah query tunggal yang menyebar ke berbagai repositori. Pemakai hanya perlu mempelajari satu jenis sintaks penelusuran. Pemakai juga tidak perlu menginstal software yang berbeda. Model ini menggambarkan digital repositori yang interoperable.


Gambar 2. 


Para pengembang telah membuat kemajuan yang cukup signifikan, khususnya dalam OPAC, untuk mencapai kondisi seperti yang digambarkan dalam Gambar 2. Dengan penerapan protokol Z39.50, pengguna dapat menggunakan satu sintaks penelusuran bahkan untuk yang repositorinya menggunakan bahasa yang berbeda. Protokol Z39.50 juga memungkinkan query menyebar ke berbagai repositori. Namun, untuk penelusuran ke digital repositori masih perlu banyak perbaikan untuk mencapai interoperabilitas yang sebenarnya. Perlu penerapan berbagai standar, mulai dari standar metadata (administratif, struktural, identifikasi, longevity), cara agar metadata tersebut dapat terbaca oleh sistem eksternal (harvesting), hingga arsitektur yang sama yang mendukung interoperabilitas.

Proses umum dan tahap pengembangan tekmologi

Proses otomasi dari hal yang konvensional, apapun jenisnyanya, biasanya meliputi serangkaian tahap pragmatis  dan tahap konseptual.

Penerapan tahap pragmatis dimulai dari penggunaan teknologi untuk mencoba cara baru dalam menjalan suatu fungsi, diikuti dengan pembangunan sistem operasional kemudian diikuti dengan membangun sistem operasional yang interoperable. Pada tahap terakhir inilah, pengembang mulai membuat sistem tersebut dapat digunakan pemakainya.  Pola seperti ini dapat kita lihat dalam pengembangan OPAC, layanan Indeks dan Abstrak dan penelusuran gambar. Proses otomasi dari hal tersebut dimulai dari eksperimen, diikuti dengan penerapan sistem operasional tertutup ( dengan sekumpulan pemakai yang mempelajari antarmuka pengguna  dan sintaks tertentu untuk berinteraksi dengan sistem), dan diikuti dengan penerapan sistem yang memudahkan pemakai berinteraksi dengan berbagai sistem. Perpustakaan digital saat ini belum jauh beranja dari tahap eksperimental, masih banyak yang harus dilakukan agar benar-benar interoperable dan berpusat pada pemakai.

Tahap konseptual biasanya berawal dari upaya untuk mengulangi kegiatan inti yang berjalan dalam lingkungan analog, kemudian diulangi pada sebagian fungsi analog tambahan, lalu (setelah beberapa waktu sistem digunakan) menemukan dan menerapkan fungsi baru yang tidak ada dalam lingkungan analog sebelumnya. Langkah terakhir inilah yang meyakinkan kita bahwa fungsi baru telah berjalan. Contohnya aplikasi pengolah kata, awalnya dibangun sebagai mekanisme penyimpanan pengetikan, tapi seiring waktu berkembang dengan berbagai fungsi seperti pengecekan ejaan, penelusuran revisi hingga fungsi yangbenar-benar berbeda seperti desktop publishing. Pengembangan MARC juga seperti itu. Awalnya dimaksudkan untuk memproduksi kartu katalog secara otomatis, lalu berkembang jadi penciptaan bibliografi dan union catalog, hingga jadi OPAC. OPAC tadinya berfungsi sebagai kartu katalog semata, ditambahkan penelusuran Boolean, kemampuan menelusur kata dalam judul hingga saat ini siap digunakan untuk membantu pemakai menelusur ke berbagai OPAC.


Arti Penting Standar

Agar perpustakaan digital dapat beroperasi, diperlukan adanya standar, baik untuk membuka arsip maupun untuk mengambil metadata (metadata harvesting). Selain standar untuk penemuan metadata, diperlukan standar untuk fungsi lainnya, yaitu metadata struktural untuk membolak-balik halaman buku digital, metadata administratif untuk menjaga agar halaman-halaman buku digital tidak terpisah, dan metadata yang menggunakan sistem temu kembali gambar untuk membantu pemakai mencari warna, bentuk dan tekstur yang sama, dan lain-lain.

Ada beberapa alasan mengapa standar metadata dan standar lainnya diperlukan. Metadata administratif diperlukan untuk mengatur berkas digital sepanjang waktu, memastikan agar semua berkas terkait bersatu, dan untuk membantu agar file ini tetap dapat diakses saat software aplikasinya tidak dapat digunakan. Karena karya digital itu dapat berubah-ubah, pengembang perlu standar untuk meyakinkan pemakai bahwa karya tersebut belum diubah dan sesuai dengan peruntukannya. Pengembang juga perlu berbagai jenis metadata dan standar agar koleksi karya digital dapat diakses dan meyakinkan pemakai bahwa mereka dapat menelusur ke berbagai kumpulan koleksi. Kesepakatan standar ini juga bermanfaat secara ekonomis bagi vendor karena mereka dapat melengkapi kembali aplikasi untuk menyatukan metadata ini.

Jenis metadata

Sejak dulu perpustakaan telah bersepakat mengenai standar metadata. Mulai dari AACR yang digunakan untuk mendeskripsikan metadata bibliografis dan format MARC untuk memindahkan cantuman bibliografis tersebut. Sedangkan untuk standar penemuan metadara ada Library Congress Subject Heading and Sears List. Di akhir abad 21 ini. muncul jenis standar penemuan metadata untuk bidang khusus seperti Art and Architecture Thesaurus dan Medical Subject Heading. Keduanya dikembangkan secara online meskipun koleksi yang dirujuk tidak tersaji secara online.

Dengan penerapan teknologi internet, orang mulai mengusahakan agar pemakai dapat menelusur ke berbagai sumber online, terutama jika ada sumber yang dikatalog dengan detil dan ada pula yang secara singkat atau bahkan tidak sama sekali. Pada pertemuan di bulan Maret 1995 diputuskan Dublin Core sebagai pemersatu metadata yang memungkinkan penemuan dari berbagai jenis cantuman dan sumber digital.Cantuman katalog perpustakaan dan pengelolaan koleksi museum dapat disederhanakan agar tampak seperti cantuman Dublin Core, sementara cantuman DC untuk sumber seperti makalah penelitian dapat dengan mudah diciptakan atau malah secara otomatis dihasilkan oleh aplikasi pengolah kata. Yang belum dapat diwujudkan oleh Dublin Core adalah interoperabilitas antar website dan webpage individu dan organisasi. Dan karena Dublin Core sudah ada selama kurang lebih 7 tahun, ia dianggap paling baik dan paling dikenal dibanding jenis metadata lain yang diciptakan untuk sumber elektronik.

Dublin Core adalah salah satu bentuk metadata digital yangdapat diterapkan untuk koleksi digital maupun non-digtal. Selain itu ada jenis metadata yang dikembangkan khusus untuk koleksi dalam bentuk digital. Berikut ini akan dijelaskan beberapa jenis metadata yang penting dalam perpustakaan digital yang benar-benar interoperable.

Metadata struktural. Metadata ini digunakan untuk memenuhi ekspektasi pemakai akan sebuah karya digital. Pemakai tidak hanya perlu tampilan dari karya tersebut saja tapi juga perlu menelusuri ke dalamnya. Seperti halnya membaca buku, pemakai perlu membolak-balik isi karya digital, dari daftar isi ke halaman tertentu, dari catatan kaki ke bagian lain, dan seterusnya. Tanpa adanya metadata struktural, koleksi tersebut hanya berwujud seperti kumpulan hasil scan lembar-lembar buku.

Metadata administrative menyimpan informasi yang diperlukan untuk menjaga agar sebuah karya digital dapat terus diakses. Dalam hal buku digital, metadata administratif akan mencatat semua berkas yang merupakan bagian buku, dimana letak berkas tersebut dan format serta software aplikasi apa yang diperlukan untuk mengakses (membaca) buku tersebut. Metadata ini penting terutama saat terjadi perpindahan server.

Banyak pengelola perpustakaan digital yang lebih memilih menggunakan produk komersial seperti Adobe Acrobat daripada menggunakan standar metada administratif dan struktural yang bersifat open. Padahal hal ini berbahaya bagi perpustakaan dan repositori karena produk komersial tidak terjamin keberlanjutan kompatibilitasnya.


Metadata identifikasi digunakan untuk mengelola berbagai versi dari sebuah karya digital. Karya digital yang sama dapat didistribusikan dalam berbagai format seperti HTML, Acrobat, XML atau MS Word untuk mendukung kebutuhan dan kemampuan pemakai yang berbeda; atau untuk meninjau gambar formatnya bisa berupa thumbnail, atau ukuran gambar yang besar/sedang. Sebuah objek dapat difoto dari sudut yang berbeda. Foto dari sudut yang sama bisa sedikit berbeda karena misalnya ada unsur tambahan seperti lalat yang menempel. Foto ini bisa dimanipulasi dengan menghilangkan perbedaannya (lalat) dari gambar tersebut. Foto-foto tersebut juga bisa dikompres secara berbeda, lossy atau lossless. Maka foto dari objek yang sama tersebut bisa sangat bervariasi formatnya.

Pengelola perpustakaan digital juga harus memperhatikan ketahanan sebuah karya digital. Di sini dibutuhkan metadata longevity untuk menjaga ketahanan karya digital sepanjang waktu. Karya digital itu sifatnya ringkih maka perlu langkah pro aktif untuk menjaga keawetannya. Besser menyebutkan lima faktor yang mengancam ketahanan digital, yaitu masalah peninjauan, rebutan, inter-relasi, pengamanan dan penerjemahan.

Filosofi dan harvesting metadata: Warwick vs MARC

Selain sepakat atas standar metadata, perpustakaan digital yang interoperable perlu menyepakati arsitektur dan pendekatan untuk membuat metadata tersebut tersedia untuk koleksi, perantara dan pengguna. Berikut ini akan dibahas dua pendekatan filosofis untuk metadata dan metode berbagi metadata dengan aplikasi dan pemakain luar.

Sejak lama perpustakaan menggunakan pendekatan filosofis MARC/AACR2 untuk metadata. Pendekatan ini menggunakan skema tunggal menyeluruh untuk semua karya dan pengguna. Saat ada jenis karya baru muncul, ditambahkan field baru ke dalam kerangka MARC/AACR2, atau aturan field tersebut diubah untuk mengakomodasi karya baru ini.Filosofi MARC/AACR2 ini adalah bahawa satu skema besar dapat memenuhi kebutuhan pemakai akan segala jenis karya. Pendekatan ini dikritik karena  skemanya terlalu kompleks sehingga hanya dapat dipahami oleh spesialis (kataloger).

Belakangan muncul pendekatan lain dalam komunitas Dublin Core. Filosofi yang berdasar pada kerangka Warwick ini menekankan pada wadah yang saling terkait dan paket metadata, yang masing-masing dikelola oleh komunitas tertentu. Menurut filosofi ini, setiap komunitas dapat mendukung paket data yang diperlukan untuk keperluan tertentu sementara tetap saling bekerja dengan paket metadata dari komunitas lain. Dalam filosofi ini, Dublin Core berfungsi sebagai pemersatu metadata yang memungkinkan penemuan ke semua komunitas. Filosofi ini mendukung paket metadata yang bersifat modular, tumpang tindih, dapat diperluas dan berbasis pada komunitas.

Apapun pendekatan filosofis yang digunakan, koleksi perpustakaan digital menghadapi masalah pragmatis yaitu bagaimana metadatanya tersedia untuk koleksi lain dan software penelusur luar. Solusinya sementara ini adalah dengan mengekspor cantuman MARC ke utilitas bibliografis seperti OCLC atau RLIN dan pengguna luar menelusur melalui utilitas tersebut. Tapi, pemakai lama-lama menginginkan penelusuran di luar batas cantuman bibliografis seperti halaman web, dokumen pdf, gambar, database, dll.  Oleh sebab itu, baik pendekatan Warwick atau pun MARC/AACR harus bisa mengembangkan metode pemanenan metadata yang memungkinkan cantuman yang diekspor dapat ditemukan oleh mesin pencari internet.

Praktik terbaik

Selain standar dan arsitektur, komunitas juga perlu menyepakati praktik terbaik agar koleksi digital lebih interoperable dan berkelanjutan. Salah satu prinsip praktik terbaik ini adalah setiap projek digital perlu mempertimbangkan pemakai, pemakai potensial, penggunaan dan karakteristik koleksi. Hal ini berarti bahwa saat projek digital dimulai harus diperhatikan masalah konversi digital dan penempatan metadatanya. Praktik terbaik untuk konversi digital pertama-tama dikembangkan oleh California Digital Library. Konsepnya dengan membedakan master dan turunannya, menyertakan target greyscale dan pengukurnya dalam pemindaian, menggunakan pengukuran objektif untuk pengaturan pemindai, menyimpan dalam format sama, dan  menghindari kompresi.

Projek The Making of America II memperkenalkan ide bahwa metadata dapat dimulai dari bentuk yang paling mentah, seiring waktu melayu dan akhirnya matang. Hal ini meredakan kekhawatiran sekelompok orang bahwa skema metadata seperti METS terlalu berkembang dan menjadi rumit untuk dijalankan.

Masalah standar lain

Agar perpustakaan digital benar-benar interoperable dan lebih bisa bersifat seperti layanan konvensional, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan, yaitu keterbukaan arsip, pemanenan metadata, indentifikasi yang tetap, membantu pengguna menemukan salinan yang tepat dan otentikasi pemakai.

Metadata yang disimpan di sistem lokal kadang tidak dapat diakses oleh aplikasi eksternal. Hal yang menghambat interoperabilitas ini dapat diatasi oleh Open Archive Intiative dengan mengembangkan dan menguji protokol yang memungkinkan aplikasi dapat memanen data meskipun tersimpan di arsip yang dalam.

Web arsitektur berbeda dengan kebiasaan di perpustakaan dalam menunjukkkan lokasi sebuah karya. Perpustakaan memberikan lokasi relatif sedangkan web menyajikan lokasi yang persis, dari direktori, folder dan sub-foldernya. Ketika terjadi perbaikan web dengan mengganti nama folder atau mengatur ulang lokasi berkas, maka saat pencarian dengan menggunakan sistem URL terjadi kegagalan yang biasanya muncul dengan pesan 404 - File Not Found. Solusinya adalah dengan menggunakan sistem PURLS atau URNs. Namun tetap perlu ada upaya penamaan yang tetap, yang mampu menunjukkan sebuah karya dari namanya dan mampu membedakan berbagai instansiasi karya tersebut dengan lokasi fisiknya.

Di perpustakaan konvensional, pemakai yang mencari suatu koleksi yang tidak dimiliki perpustakaan tersebut atau sedang dipinjam dapat menggunakan layanan pinjaman antar perpustakaan atau layanan pengiriman bahan pustaka. Dalam perpustakaan digital, situasinya jauh lebih rumit. Pemakai memiliki lisensi yang berbeda terhadap suatu dokumen; suatu dokumen disediakan oleh beberapa agregator yang mempunyai lisensi yang berbeda; banyak konten digital yang disimpan oleh provider bukan oleh perpustakaan yang memiliki lisensi. Solusinya yang sudah ada saat ini adalah membentuk Open URL Standard Committee yang memungkinkan berjalannya query yang peka konteks.

Salah satu masalah standar dan protokol lain yang juga penting adalah otentikasi pemakai. Dengan semakin banyak konten digital berlisensi yang disimpan oleh provider, para provider ini menuntut agar pemakai yang mengakses konten tersebut benar-benar memiliki hak untuk itu.  Otentikasi pemakai biasanya dilakukan melalui password dan IP address yang digunakan. Namun hal ini bisa memungkinkan provider melacak apa yang dibaca dan kebiasaan individu dalam mengakses. Hal ini bertentangan dengan tradisi etis perpustakaan yang menghormati privasi pemakai. Untuk mengatasi hal ini, Projek Shibboleth mengembangkan cara agar sebuah organisasi dapat mengotentikasi pemakai tanpa mengungkapkan identitas pemakai.

Tahap berikutnya: Peralihan dari Koleksi Digital yang Terpisah ke Perpustakaan Digital yang Interoperable

Perpustakaan konvesional memiliki komponen fungsional dan tradisi etis. Perpustakaan digital yang saat ini dikembangkan tidak akan benar-benar menjadi perpustakaan digital sampai komponen perpustakaan konvensional yang penting dan tradisi etis perpustakaan konvensional terintegrasi ke dalamnya.

Untuk komponen interoperabilitas, projek open archive, metadata harvesting, struktural dan administratif cukup menjanjikan. Untuk komponen penatalayanan koleksi, projek preservasi digital sudah dimulai tapi butuh waktu yang masih lama untuk bisa dikatakan bahwa kita dapat mempreservasi sebagain budaya kita dalam format digital. Untuk komponen lain seperti layanan bagi klien, baru sedikit menggores bagian dimana perpustakaan konvensial sudah menjalankannya dengan baik yaitu menyampaikan informasi kepada kelompok pemakai yang berbeda.

Banyak sisi tradisi etis perpustakaan seperti kekebasan berbicara, persamaan akses dan privasi yang belum muncul dalam pengembangan perpustakaa digital. Menurut Lawrence Lessig, pilihan yang dibuat arsituktur dan perancangan sistem akan membatasi pilihan sosial yang dibuat seputar penggunaan sistem tersebut di masa yang akan datang.

Upaya untuk menjunjung tradisi etis perpustakaan juga mendapat tantangan berupa komersialisasi hak milik intelektual. Dengan semakin besarnya komodifikasi informasi dan konsolidasi industri konten, semakin sedikit karya kreatif yang masuk ke wilayah domain publik dan semakin banyak yang harus membayar untuk mengaksesnya. Selain itu, komodifikasi dan konsolidasi membuat pemusatan pada karya yang paling laku dan mengurangi keberagaman karya. Pengembang perpustakaan digital harus dapat menyediakan konten yang beragam. Pengembang dan para ahli juga perlu terlibat agar lebih banyak konten yang keluar dari pasar dan masuk ke domain publik.

Pengembang perpustakaan digital juga perlu berperan sebagai penjamin hak individu untuk mengakses berbagai informasi. Mereka harus memperluas bentuk "persamaan akses terhadap informasi" berlaku juga di dunia digital serta memperkecil perbedaan antara "kaya" dan "miskin" dalam dunia digital.

Terakhir, dalam membangun perpustakaan digital, kita perlu mengingat bahwa perpustakaan bukan sekedar koleksi karya. Perpustakaan memiliki layanan dan tradisi etis serta nilai yang merupakan bagian penting dari fungsinya. Perpustakan saling berkerja (Interoperate_ satu sama lain untuk melayani kebutuhan informasi berbagai kelompok pemakai saat ini dan berharap dapat menjaga keberlanjutan hidup serta koleksinya hingga tetap dapat melayani sampai 100 tahun yang akan datang. Mereka membela hak pemakai untuk mengakses konten sambil tetap menjaga privasi. Koleksi digital yang dibangun tidak akan menjadi perpustakaan digital sampai menyertakan layanan dan tradisi etis ini.

Tuesday, May 10, 2016

Perpustakaan Digital: Sejarah, kondisi dan masa depannya

Tulisan ini merupakan terjemahan bebas dari tulisan Howard Besser berjudul "The past, present and future of digital Libraries".


========================================================================
Peran Penting Perpustakaan dalam Rumpun Ilmu Humaniora

Sejak dulu perpustakaan sangat penting dalam Ilmu Humaniora. Perpustakaan menyediakan akses untuk karya asli, pembahasan dan ulasan yang membantu kontekstulisasi karya tersebut. Perpustakaan digital tampaknya sama pentingnya dengan perpustakaan tradisional. Perpuatakaan digital bukan hanya menyajikan sumber karya asli, kontekstualisasi dan pembahasan tapi juga menyajikan serangkaian sumber dan layanan tambahan.

Perpustakaan mengumpulkan duplikat sumber berkualitas tinggi dari berbagai repositori sehingga tampak seperti berasal dari satu repositori bagi pengguna. Peneliti dapat meneliti duplikat koleksi langka yang berada di berbagai institusi tanpa harus mengunjungi satu per satu institusi tersebut. Peneliti yang melakukan analisis leksikal dapat menghitung frekuensi kata atau frasa bukan hanya pada satu karya saja tapi pada keseluruhan karya. Perpustakaan digital memungkinkan pengelola repositori untuk menyajikan banyak interpretasi secara berasamaan dari sebuah karya, pengarang atau ide. Perpustakaan digital bukan hanya memungkin orang melakukan hal sama yangtelah dilakukan sebelumnya secara lebih cepat dan lebih baik, tapi juga membuka kemungkinan ilmuwan di bidang humaniora melakukan berbagai hal baru yang belum terpikirkan.


Apakah Perpustakaan itu?

Perpustakaan bukan sekedar koleksi, melainkan terdiri dari berbagai unsur (termasuk layanan terhadap pemustaka, penatalayanan koleksi, keberlanjutan dan kemampuan untuk menemukan bahan pustaka di luar koleksinya) dan menjunjung tradisi etis ( termasuk kebebasan berpendapat, privasi dan persamaan akses).  Dalam dekade terakhir ini, perubahan teknologi dan pengurangan anggaran menyebabkan terjadinya perubahan di perpustakaan. Hal ini menimbulkan banyak perdebatan tentang peran perpustakaan di masa lalu dan masa yang akan datang dan spekulasi apakah perpustakaan punya masa depan. Christin Borgman berpendapat bahwa perpustakaan konvensional tidak akan hilang hanya karena adanya koleksi digital. Menurutnya peran perpustakaan adalah "memilih, mengumpulkan, mengorganisasi, memelihara dan menyediakan akses informasi dalam berbagai media, ke berbagai komunitas pengguna". Besser menambahkan, ada 4 karakteristik utama perpustakaan umum, yaitu sebagai fasilitas fisik, sebagai pusat pengembangan pendidikan, memiliki misi untuk melayani mereka yang kurang mendapat pelayanan dan sebagai penjamin akses informasi publik.

Hampir semua perpustakaan konvensional memiliki unsur layanan yang kuat, khususnya layanan kepada masyarakat. Publik secara umum menganggap pustakawan sebagai orang yang sangat berperan dalam memenuhi kebutuhan informasi mereka. Perpustakaan umumnya memberikan layanannya kepada berbagai pengguna. Mereka sangat mahir dalam mendayagunakan koleksi yang sama untuk melayani kelompok pengguna yang berbeda.

Perpustakaan juga miliki unsur penatalayanan terhadap koleksinya. Hal ini dapat berupa pengawasan terhadap sirkulasi dan penataan buku di rak hingga upaya preservasi terhadap koleksinya. Bagi perpustakaan riset, preservasi menjadi tanggungjawab utama, sementara bagi perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, dan perpustakaan khusus, ada tanggung jawab untuk memelihara koleksi inti lokal selama mungkin.

Perpustakaan merupakan organisasi yang berlangsung lama. Meskipun kadang-kadang perpustakaan ada yang tutup, tapi secara umum perpustakaan merupakan entitas sosial yang cukup stabil. Meski ada perubahan, masyarakat tetap bergantung pada layanan perpustakaan.

Unsur lain dari perpustakaan adalah layanan penyajian informasi yang berada di luar koleksi perpustakaan itu sendiri. Perpustakaan menganggap dirinya sebagai bagian dari jaringan kerjasama antar perpustakaan sedunia yang bekerjasama dalam menyajikan informasi bagi individu. Alat seperti union catalog dan layanan pinjaman antar perpustakaan telah menjadi semacam jaringan interoperabilitas perpustakaan yang digunakan untuk mencari dan menyajikan bahan pustaka jauh sebelum ada internet.

Perpustakaan juga memiliki tradisi etis yang kuat. Hal ini meliputi perlindungan terhadap privasi pembaca, akses informasi yang sama, keaneka ragam informasi, dan layanan untuk pihak yang kurang beruntung. Untuk mendukung nilai etis ini, Pustakawan juga berfungsi sebagai penjaga informasi. Perpustakaan di Amerika bahkan merancang sistem sirkulasi agar hanya menghasilkan statistik kumpulan peminjaman, bukan data peminjaman individu yang dapat digali untuk mengetahui apa yang telah dipinjam oleh seseorang.

Perpustakaan sangat menjunjung tinggi asas persamaan akses informasi. Pustakawan berusaha untuk menyajikan informasi kepada mereka yang tidak mampu membeli informasi di pasar bebas. American Library Association (ALA) bahkan pernah menuntut Undang-Undang Kesopanan Komunikasi (Decency Communication Act) karena melarang pemustaka mengakses informasi yang dapat mereka akses di luar perpustakaan. Pustakawan juga lah yang berdiri di garda depan dalam perjuangan melawan privatisasi informasi pemerintah AS dengan alasan bahwa hal tersebut dapat membatasi akses informasi bagi mereka yang tidak mampu.

Pustakawan juga berusaha untuk menyajikan keanekaragam informasi. Perpustakaan mengumpulkan informasi dari berbagai perspektif yang berbeda. Bahkan ada perpustakaan yang menonjolkan keberagaman koleksi dalam kebijakan pengembangan koleksinya.

Dengan semakin banyaknya informasi dalam bentuk digital, ada kesalahan persepsi yang menganggap bahwa kumpulan bahan pustaka yang tersaji secara online dapat disebut sebagai perpustakaan digital. Perpustakaan, baik yang digital maupun yang konvensional, bukanlah sekedar kumpulan bahan pustaka, melainkan lembaga yang memberikan layanan dan memiliki tradisi etis yang merupakan bagian penting dari komunitas yang dilayaninya.


Sejarah Singkat Perpustakaan Digital

Pengukuan pertama akan pentingnya perpustakaan digital diwujudkan dalam bentuk penggelontoran dana sebesar 24.4 milyar dolar untuk 6 universitas pada tahun 1994 untuk mengembangkan perpustakaan digital. Inisiatif ini merupakan proyek bersama NSF, ARPA dan NASA di perpustakaan Carnegie Mellon University, Univetristy of California-Barkeley, Univerisity of Michigan, University of Illinois, University of California-Santa Barbara dan Stanford University.

Projek berbiaya besar ini merupakan eksperimen ilmu komputer, terutama di bidang arsitektur dan temu-kembali informasi. Meskipun projek ini bereksperimen dengan koleksi digital, tapi jauh dari konsep perpustakaan.Tidak ada layanan koleksi, pengkatalogan, tidak ada pengguna dan tidak ada tradisi etis. Tahap ini disebut tahap eksperimental.

Pada akhir tahun 1998, Pemerintah Federal AS, kembali mengucurkan dana besar untuk membiayai projek-projek yang berkaitan dengan unsur layanan perpustakaan tradisional seperti pengkatalogan, keberlangsungan, dan hubungan dengan komunitas pengguna. Pada masa itu juga, pengelola perpustakaan konvensional mulai membangun koleksi digital.

Dengan semakin besarnya keterlibatan ilmuwan sosial dan pustakawan dalam projek digital ini, uppaya mulai beralih dari keperimen di bidang ilmu komputer ke projek yang bersifat lebih operasional. Tahap ini disebut "perkembangan" perpustakaan digital. Pada akhir tahun 1990-an, projek mulai mengarah pada unsur perpustakaan tradisoonal seperti penatalayanan koleksi dan interoperabilitas antar koleksi, meskipun upaya ini masih belum masuk tahap operasional.

Untuk masuk ke tahap "matang", perpustakaan digital perlu lebih banyak memasukkan unsur perpustakaan konvensional seperti keberlanjutan dan interoperabilitas dalam dunia digital. Para pengembang juga perlu mulai memikirkan untuk memasukkan unsur etis perpustakaan seperti kebebasan berpendapat, privasi dan persamaan akses.

Perkembangan perpustakaan digital dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tahap
Tahun
Sponsor
Kegiatan
I
Eksperimental
1994
NSF/ARPA/NASA
Eksperimen pada materi koleksi digital
II
Pengembangan
1998/99
NSF/ARPA/NASA, DLF/CLIR
Mulai mempertimbangkan pengkatalogan, keberlanjutan, komunitas pengguna
III
Matang
?
Didanai melalui saluran normal?
Perpustakaan digital yang berlanjut dan memiliki interoperabilitas


Bersambung ke Part 2




Wednesday, November 4, 2015

Motivasi Bergabung dengan Asosiasi Profesi

Sewaktu membuka-buka jurnal Access oleh2 dari Australian dulu itu, saya tertarik dengan dengan salah satu artikel pendek hasil survey tentang apa yang memotivasi para School Librarian di Australia untuk bergabung dengan ASLA, Australian School Library Association. Ada banyak motivasi mereka ternyata, saya tidak akan ungkapkan disini. Saya jadi iseng ingin menanyakan hal yang sama ke anggota ATPUSI yang ada di grup WhatsApps ATPUSI RAYA.

Saya tunggu 2 hari atau samapai ada yang memposting masalah lain, sebelum saya menyimpulkan hasil survey kecil-kecilan. Karena kalau sudah ada yang memposting masalah lain, biasanya perhatian sudah teralihkan. Baiklah inilah hasil survey kecil-kecilan tersebut.

Pertanyaan survey saya adalah:
" Saya bergabung dengan ATPUSI karena... (silahkan selesaikan kalimat tersebut)."
Ada 9 orang yang merespon posting saya. Hal ini berarti hanya 18% dari jumlah anggota grup yang seluruhnya berjumlah 50 orang. Beberapa orang merespon dengan memberikan lebih dari 1 alasan (multiple reasons).

Saya kemudian menggolongkkannya dalam 12 kategori jawaban. Jadi berikut ini adalah alasan mengapa sebagian orang dalam grup ATPUSI RAYA bergabung dangan ATPUSI:


  • Belajar dari sesama rekan untuk memecahkan masalah yang dihadapi di tempat kerja
  • Meningkatkan kompetensi ( 4 orang)
  • Mempelajari tentang perpustakaan sekolah
  • aktualisasi diri sebagai Tenaga Perpustakaan Sekolah (2 orang)
  • Membesarkan asosiasi
  • Memasyarakatkan perpustakaan sekolah
  • Mengembangkan perpustakaan sekolah
  • Membantu Tenaga Perpustakaan Sekolah lain
  • Meningkatkan citra profesi tenaga perpustakaan sekolah
  • Berupaya untuk memecahkan masalah dalam dunia perpustakaan sekolah
  • Agar memiliki bargaining postion dalam berhadapan dengan pihak lain
  • Mewujudkan profesionalisme tenaga perpustakaan sekolah
  • Berkumpul dengan sesama rekan se-profesi
  • Memperjuangkan aspirasi
Mungkin hasil survey ini tidak bisa mewakili alasan atau motivasi seluruh anggota ATPUSI untuk bergabung dalam asosiasi profesi. Ini karena tingkat partisipasi yang bersuara yang rendah. Entah karena sibuk, tidak mengaanggap perlu atau merasa alasannya sudah terwakili. Dari sini saya menilai bahkan dalam lingkup sesama tenaga perpustakan sekolah, sebagain dari kita masih enggan bersuara. Atau tidak terbiasa "serius" dalam forum WhatsApp. Mungkin perlu penelitian lebih lanjut.