Pages

Thursday, December 6, 2012

Curation

Agak sulit mencari padanan kata yang tepat untuk istilah curation dalam bahasa Indonesia. Sebenarnya dalam bahasa Inggris sekalipun kata curation tidak ditemukan dalam kamus bahasa Inggris klasik seperti Merriam-webster, dalam arti tidak ditemukan arti yang tepat untuk kata ini. 
Tapi mungkin kita kenal dengan istilah kurator, yaitu seseorang yang bertugas untuk mengelola koleksi museum atau galeri. Kurator bukan sekedar mengumpulkan benda benda bersejarah dan menyimpannya di museum, tapi dia memberi makna, penjelasan dan mengatur koleksi sedemikian dalam susunan tertentu.
Untuk mudahnya, kita gunakan saja istilah kurasi sebagai padanan kata curation. Wikipedia mendefinisikan kurasi sebagai kegiatan merawat, mengolah dan memelihara sekumpulan karya seni atau artefak. Belakangan muncul istilah digital curation dan content curation. Digital curation adalah proses pemilihan, pengawetan, perawatan, pengumpulan dan pengarsipan aset digital. Sedangkan content curation adalalah kegiatan mencari, mengumpulkan dan menyajikan informasi dalam bentuk digital dalam bidang tertentu.  Jadi penekanannya ada pada isinya. 

Lalu apa urgensinya bagi pustakawan untuk memahami kurasi ? Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa di era informasi seperti saat ini, keberadaan perpustakaan dan pustakawannya kadang dipertanyakan. Seperti apakah masih perlu perpustakaan/pustakawan jika orang dapat mencari informasi apapun yang dibutuhkan dari internet? Mari kita melihatnya dalam perspektif pendidikan (sekolah).

Saat ini sistem pendidikan semakin bergeser dari teacher-centered ke student-centered. Meskipun kita telah lama mengenal CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), bahkan kini istilah tersebut sudah ditinggalkan,  tetap saja hingga kini pembelajaran pada sistem kurikulum yang berlaku saat ini (KTSP) dirasa masih belum cukup berpusat pada siswa.  Dan pada prakteknya memang masih begitu. Saat ini sedang digodok kurikulum baru, yaitu kurikulum 2013, yang diharapkan akan benar-benar berpusat pada siswa. 

Jika kurikulum menuntut siswa aktif mencari tahu bukan lagi diberitahu, maka mereka perlu dibekali dengan ketrampilan mencari, menemukan, menggunakan dan menilai informasi. Saat ini informasi sangat banyak dan mudah kita temukan di internet. Masalahnya sudahkan siswa, atau bahkan mungkin kita juga, mengetahui bagaimana mencarinya? Oke ada Google (baca: mesin pencari) yang membantu kita menemukan informasi yang kita cari, tapi apakah cukup? Ketika mesin pencari menyajikan sekian ribu tautan untuk informasi yang kita cari, dapatkan  siswa memilih yang tepat dan benar?

Jadi sekarang pustakawan memang benar-benar harus bertindak sebagai pengelola informasi bukan sekedar penjaga perpustakaan. Pustakawan harus dapat bekerjasama dengan guru. Bahkan harus selangkah lebih maju dari guru dalam pengetahuan tentang sumber informasi mana yang lebih tepat, strategi pencarian dan cara penggunaan teknologi informasi komunikasi. 

Kurasi merupakan langkah yang lebih maju dari sekedar pencarian informasi melalui mesin pencari. Kita tahu saat ini siapa saja bisa menyimpan dan menyebarkan informasi di internet. Tidak ada lembaga yang berwenang mengatur validitas dan reliabilitas data di internet. Maka diperlukan adanya orang yang mencari informasi dalam bidang tertentu, mengumpulkan informasi yang akurat dan mudah dicerna, memberi ulasan terhadap kumpulan informasi teresebut dan menyajikannya untuk kepentingan khalayaknya. Orang ini lah yang disebut content curator. Sangat mirip dengan kurator di museum ataupun galeri seni bukan?
Mengambil informasi langsung dari internet seperti minum dari pipa hidran 
  
Yang penting dari kurasi adalah isinya. Jika kita berminat pada satu hal tertentu, kita tentu mencari dan mengumpulkan hanya yang terbaik atau bernilai bukan? Contohnya seorang filatelis (kolektor perangko) hanya akan mengoleksi perangko yang mempunyai nilai tertentu. Begitu juga jika kita meng-kurasi sebuah topik, maka kita tidak akan mengumpulkan dan menyajikan informasi yang tidak akurat, basi atau tidak bernilai. Content is the king, adalah tagline dalam dunia kurasi.

Lalu apa saja yang bisa kita kurasi
Ada begitu banyak konten dari berbagai tool yang bisa kita kurasi. Artikel majalah, blog atau posting dari blog, slide presentasi, video, e-book, infographics, gambar, wiki bahkan kicauan (tweet) di twitter 


Untuk melakukan kurasi dengan sukses, Weiberger (2012) menyarankan langkah-langkah berikut ini:
1. Find (temukan)
     - identifikasi niche anda
     - cari sumber isi ( ini bisa dilakukan dengan menjalin jaringan belajar pribadi (PLN) 
     - Kumpulkan apa anda temukan 
2. Select (pilih):
     - saring isi
     - pilih berdasarkan originalitas, kualitas dan relevansinya         
3. Editorialize (beri pengantar)
     - Kaitkan isi dengan konteksnya
     - beri pengantar atau intisarinya
     - sajikan sudut pandang anda
4. Arrange (Susun)
     - Isi perlu di urutkan dan diatur tampilannya 
5. Create (Sajikan)
     - pilih formatnya, bisa :
          * Scoop.it, Paper.li (seperti majalah atau koran)
          * Storify, Storiful (seperti bercerita)
          * Twitter curation
     - sebutkan sumbernya
6. Share (Bagikan)
     - identifikasi khalayak kita
     - Media apa yang mereka gunakan? Promosikan di situ
7. Engage (libatkan)
     - Buka peluang untuk masukan dari khalayak dan perhatikan komentar mereka
8. Track (Pantau)
     - Pantau keterlibatan orang
     - Pantau kebaruan pemikiran
     - Perbaiki

Idealnya praktek kurasi ini dilakukan dalam 3 P yaitu Pencarian, Pemahaman dan Publikasi yang dapat disarikan dalam tabel sebagai berikut:

 PencarianPemahamanPublikasi
Tentukan topik dan susun sumber-sumbernyaKemas ulang dalam bentuk tulisan atau presentasiCantumkan sumbernya
Cari sebanyak mungkinSimpan, beri penjelasan atau komentarSajikan hanya bahan yang terbaik
Pilih yang berkualitas, jangan ambil sampahIntegrasikan ke dalam tugas
2 kali sehari @ 15 menit30 - 60 menit per hari2 kali sehari @ 15 menit

Ada banyak alat kurasi (curation tools) yang tersedia di internet. Berikut ini adalah beberapa yang populer:
1. Scoop.it
    Ini merupakan curation tools yang pertama saya kenal dan yang hingga saat merupakan  
    favorit saya. Saya bahkan sudah mencoba membuat akun di sini saat saya belum  
    benar-benar memahami apa itu kurasi. Di sini kita  tidak harus melakakukan kurasi 
    untuk topik tertentu, tapi cukup mengikuti (follow) topic yang telah dibuat orang lain. 
    Tentu saja jika kita tidak puas, dan saat kita sudah lebih memahami kerjanya, kita bisa  
    mulai melakukan kurasi untuk topik yang kita minati.
    Kita bisa menambahkan marklet scoop.it di browser kita, agar mudah mengambil     
    materi yang kita temukan saat kita browsing ke kumpulan topik yang kita kurasi.   
    Istilahnya men-scoop.

2. Pinterest
    Tools ini juga cukup populer, terutama saat dikteahui bahwa Michele Obama 
     menggunakan tools ini. Tampilannya sangat menarik, karena biasanya orang 
     mengumpulkan gambar-gambar disini.
3. Storyful
4. Storyfi
     Keduanya mirip. Feature utamanya terletak pada adanya pengantar dari apa yang kita  
     kumpulkan dan kita sajikan di sini. Jadi seperti kita bercerita. Jika orang bercerita ada 
     yang menggunakan boneka misalnya, disini kita menggunaka video, tweet atau foto 
     yang kita kumpulkan dari berbagai sumber

5. Paper.li
    Tools ini memungkin kita mengumpulkan informasi dan menyajikannya dalam bentuk 
    yang mirip koran.

Masih belum jelas? Bagus, silahkan coba saja sampai bisa memahaminya sendiri. Begitulah proses belajar. Jika diatas saya menyebut Pustakawan harus tahu tentang kurasi ini, sebenarnya ini bisa dilakukan siapa saja. Terutama oleh guru yang juga berkepentingan mengumpulkan bahan ajar dan sering mencarinya dari internet atauberbagai sumber lain.
Selamat belajar....:)

Bibliografi:


Anonim. (2012, Juni 28). Apa itu Content Curation. Retrieved December 5, 2012, from Tips jualan online: http://tipsjualonline.com/apa-itu-content-curation/
Firelli, G. (2011, September 15). Content Curation: Definition and generation. Retrieved December 5, 2012, from Iloveseo: http://www.iloveseo.net/content-curation-definition-and-generation/
Kanter, B. (2011, October 4). Content Curation Primer. Retrieved December 5, 2012, from Beth's Blog: http://www.bethkanter.org/content-curation-101/
Kanter, B. (2011, October 4). Curation Planning Questions. Retrieved December 5, 2012, from Wikispaces: http://socialmediafoundations.wikispaces.com/Curation+Planning+Questions
Rosenbaum, S. (2012, April 28). 5 Tips for Great Content Curation. Retrieved December 5, 2012, from Mashable: http://mashable.com/2012/04/27/tips-great-content-curation/
Setiawan, D. (2012, August 22). SlideShare. Retrieved December 7, 2012, from SlideShare: http://www.slideshare.net/denydeyn/presentation1-14046742#btnNext
Valenza, J. (2012, November 17). Curation. Singapore, Singapore.
Weisberger, C. (2012, April 16). Teaching Students to Become Curators of Ideas: The Curation Project . Retrieved November 2012, 2012, from The St Edward University Social Media Class: http://academic.stedwards.edu/socialmedia/blog/2012/04/16/teaching-students-to-become-curators-of-ideas-the-curation-project-3/


 

Kualitas Buku

Sudah lama buku-buku ini menumpuk di perpustakaan. Ini adalah sebagian dari buku-buku kiriman dari Dinas Pendidikan yang berjumlah sekitar 11 box. Sebagian besar sudah diproses dan berpindah ke rak. Sebagian kecil lainnya sudah disumbangkan ke perpustakaan lain karena isinya yang kurang sesuai. 

Muncul kecurigaan bahwa penulisan buku ini adalah proyek 'crash program' dari Pemerintah dalam hal pengadaan buku untuk sekolah. karena melihat fakta-fakta sebagai berikut:
  • sebagian besar penerbit buku-buku ini bukanlah penerbit yang sudah terkenal dalam penerbitan buku
  • sebagian besar penulisnya menulis banyak judul buku dengan tema yang beragam pula
  • beberapa tema ditulis oleh dalam lebih dari satu buku dengan penulis dan penerbit yang berbeda namun judul dan isinya hampir sama
  • memang ada buku yang ditulis oleh yang ahli dibidangnya, tapi hanya sedikit saja
  • penulis yang, maaf saja, bukan ahli dibidangnya ini memang melengkapi buku yang ditulisnya dengan daftar pustaka, tapi bahan pustaka yang tercantum hampir semua berasal dari internet. Sudah bisa diduga, cara penulisannya pun tidak selalu mengikuti kaidah yang benar
Itu baru penilaian sekilas. Iseng-iseng saya coba meneliti lebih jauh lagi. Ada satu seri buku yaitu Seri Ensiklopedia IPTEK yang terdiri dari 4 judul yang berbeda yang ditulis oleh orang yang berbeda pula (yang termasuk dalam jajaran 'bukan ahli'nya itu). Ini buku bilingual. Jadi sebenarnya isi buku itu hanya setengah dari tebal bukunya yang lebih dari 100 halaman dengan ukuran 21 x 28.5 cm.

Pertama saya lihat bahasa Inggrisnya. Kelihatan sekali bahwa bahasa Inggrisnya merupakan hasil Google translate. Itu pun masih menyisakan bahasa Indonesia yang terselip dalam bahasa Inggris yang cukup 'hancur'. Misalnya:
"In 1913, experts called Danish fisika Neils Bohr atom Rutherford failed to improve the percobaannya of hydrogen atom spectrum."
(Contoh diambil dari judul Ensiklopedia IPTEK: Kimia dan unsur. Terbitan Multazam Mulia Utama. Penulis :Andari  Saptika, 2010. halaman 21)

Saya coba ketik satu kalimat dari buku tersebut dalam kotak di mesin pencari Google. Ternyata sumbernya ada di wikipedia. Saya kira hanya kalimat awalnya saja yang mengambil langsung dari artikel di wikipedia, tapi tenyata seluruhnya memang di-copy paste langsung dari laman tersebut. Di-copy plek begitu aja semuanya. Yang sedikit berbeda hanya pemotongan paragrafnya saja.

Ini jelas-jelas menganggu buat saya yang cukup lama belajar mengenai Literasi informasi dan mencoba mengajarkannya kepada atau sekedar mensosialisasikan kepada orang lain. Orang disebut "melek informasi" aatau information literate jika dia tahu kapan dia memerlukan informasi, dimana mendapatkannya dan bagaimana menggunakannya. Ada etika yang harus diperhatikan agar tidak masuk dalam kategori plagiat. 

Buku ini jelas-jelas masuk kategori plagiarisme. Apalagi ini adalah buku yang disebarkan luaskan secara komersial (diperjualbelikan), bukan hanya untuk kalangan terbatas saja. Bagaimana saya mau menekankan agar murid2 (dan guru juga) tidak mengcopy paste dalam menuliskan karya ilmiahnya, jika kenyataannya buku-buku yang beredar juga merupakan hasil copy paste?

Ah, saya seperti pahlawan kepagian ya yang teriak2 mengenai masalah plagiarisme sementara orang-2 masih belum terbagun kesadarannya akan hal ini...