Pages

Thursday, October 19, 2017

Pustakawan sekolah akan punah?

Satu postingan dari mantan bos saya pak Ahmad Rizali dan postingan yang banyak beredar dari pak Rhenald Kasali membahas masalah yang sama yaitu tentang pekerjaan yang hilang akibat disruption. Dalam artikelnya. pak Rhenald Kasali menyebutkan bahwa salah satu pekerjaan yang akan hilang adalah pustakawan. Menurut saya pustakawan dalam arti orang yang bekerja di perpustakaan yang mengerjakan teknis dan layanan perpustakaan secara konvensional adalah yang kemungkinan besar bisa tergantikan di masa depan. Mungkin kita sudah pernah mendengar bahwa robot bisa menggantikan tugas shelving di perpustakaan. Keluhan yang baru-baru ini saya dengar adalah peran pustakawan dalam mengembangkan program literasi sekolah diambil alih oleh guru/sekolah. Apakah ini salah satu tanda bahwa ramalan tersebut benar?

Pertama kali membaca artikel pak Kasali tersebut saya sih tetap optimis bahwa pustakawan tidak akan tergantikan, tapi dengan catatan bukan pustakawan konvensional melainkan pustakawan yang selalu mengikuti perkembangan ilmu informasi. Terus terang pustakawan sekolah yang saya kenal dalam lingkungan komunitas kebanyakan adalah pustakawan konvensional. Jarang memang pustakawan sekolah yang memilih latar belakang ilmu perpustakaan dan informasi setingkat sarjana apalagi magister di perpustakaan. Mereka ini lah yang sering merasa terancam perannya tidak diakui atau digantikan otoritasnya (dalam arti jabatannya sebagai kepala perpustakaan) oleh guru.

Di waktu yang sama saya juga kebetulan berkunjung ke blog salah satu teacher librarian yang cukup terkenal (tapi tidak di Indonesia) yaitu Buffy Hamilton dengan blognya the Unquiet Librarian. Mengikuti portofolio dan presentasinya semakin meyakinkan saya bahwa pustakawan yang bisa seperti ini tidak akan tergantikan profesinya. Saya jadi kemudian gelisah dan berpikir keras bagaimana caranya bisa mengajakan teman-teman pustakawan untuk membenahi pola pikir dan meningkatkan kompetensi profesinya. Saya merasa sangat tidak puas dengan peran ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) dalam hal ini. Ini adalah periode kedua saya menjabat sebagai salah satu pengurus pusat asosiasi ini. Dan saya merasa belum berbuat banyak.

Dalam grup WhatsApp, saya berharap kami bisa saling sharing tentang isu-isu kepustakawanan. Tapi yang sering terjadi diskusi panjang yang berawal dari keluhan yang ditanggapi dengan keluhan lagi. Sudah pasti sering terjadi postingan yang tidak berkaitan dengan masalah kepustakawanan sama sekali seperti postingan dakwah atau lelucon. Apalagi kadang suka ada postingan "jualan", baik yang terselubung ataupun terang-terangan. Saya amat kesal jika itu terjadi.

Kembali ke masalah disrupsi, saya sih tetap optimis bahwa pustakawan sekolah akan bertahan dalam beberapa puluh tahun ke depan. Dengan catatan para pustakawannya berkembang dan berperan menjadi guru pustakawan yang sebenarnya. Yang saya maksud sebagai guru pustakawan yang sebenarnya adalah pustakawan sekolah yang memahami pendidikan, kurikulum dan proses belajar mengajar di sekolah. Guru pustakawan yang mengambil peran sebagai leader minimal sebagai mitra guru dalam pembelajaran. Dan pustakawan sekolah kita masih jauh dari posisi ini. Selain perlu membekali diri dengan ilmu pendidikan, kita juga harus melek informasi dan digital.

Prediksi bahwa profesi pustakawan akan terdisrupsi mungkin akan terwujud pada akhirnya. Tapi saya berharap bahwa itu tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Buat teman-teman pustakawan sekolah, marilah kita berkembang. Mengembangkan kompetensi diri dan profesional kita sebagaimana mereka yang ada di negara maju. Jangan sampai kita layu sebelum berkembang. :)


Sunday, July 9, 2017

(Membantu) Menemukan Aha! Moment

Beberapa hari yang lalu di salah satu WAG yang saya ikuti, ada diskusi yang lumayan hangat tentang peran pustakawan sekolah. Bermula dari posting seorang anggota yang mempertanyakan sikap ATPUSI (Asosiasi Tenaga Perpustakaan Sekolah Indonesia) tentang Permendikbud No. 23 Tahun 2017. Pertanyaan bernada menggugat tersebut berlanjut dengan keluhan tentang peran tenaga perpustakaan sekolah yang "belum dianggap" oleh Kepala Sekolah. Diskusi selanjutnya menurut saya menggembirakan, karena tidak banyak yang mengikuti keluhan tersebut. Alih-alih menyambut keluhan dengan dengan keluhan, beberapa anggota malah "menyalahkan" keluhan tersebut dan menganjurkan sebaiknya berpikir positif dan menjawab tantangan tersebut dengan kerja sehingga orang lain akan memandang profesi kita.

Memang biasanya di banyak kesempatan pertemuan perpustakaan sekolah, selalu muncul berbagai keluhan. Tapi sekarang saya melihat mulai ada angin segar. Pertanyaan bernada curhat masih ada, tapi sudah mulai banyak yang lebih bernada positif. Banyak tenaga perpustakaan sekolah yang sekarang sudah lebih pede, terutama yang muda-muda.

Percakapan melalui WA tentang peran ini masih berlanjut dengan japri dengan seorang rekan yang sedikit mengeluhkan kondisi di sekolahnya. Dia merasa perpustakaan (Pustakawan) kurang dilibatkan dalam program sekolah. Sampai-sampai dalam program GLS (Gerakan Literasi Sekolah) saja perannya dirasa kurang, padahal ini kerjaan sehari-harinya pustakawan.

Sebenarnya kondisi di sekolah saya pun tidak jauh berbeda,. Tapi entah kenapa saya bisa memandang dari sisi lain. Saya bisa menerima jika saya tidak langsung dilibatkan dalam program sekolah. Misalnya dalam program GLS dimana sekolah kami menerjemahkannya dengan program kerja sebagai berikut:
- Silent reading selama 60 pada hari Jum'at
- Wajib baca dan review buku minimal 5 judul setiap semester
- Membuat Reading Tree di tiap kelas
- Menyediakan Sudut Baca (Reading Corner) di beberapa lokasi di sekolah dan asrama.

Apakah pustakawan dan perpustakaan terlibat langsung dalam semua kegiatan tersebut? Tidak. Silent reading dipimpin dan diawasi Guru (wali kelas) dalam pelaksanaannya. Perpustakaan berperan dalam menyediakan buku bacaannya. Bagaimana dengan review buku? Saat ini kami baru berfokus pada guru. Jadi yang ada tagihannya baru guru. Guru diharapkan membaca dan membuat review buku. Perpustakaan menyediakan media atau platformnya. Berdasarkan kesepakatan, platform penulisan review buku adalah blog. Perpustakaan menyediakan blog khusus, dalam hal ini kami membuatnya di Google site, dimana guru dapat memposting review bukunya. Di akhir semester kami merekap jumlah review yang dibuat guru. Review ini menjadi salah satu poin penilaian kinerja guru. Jadi gak main-main lho...Bisa dilihat disini blognya.

Dalam hal Reading Tree dan Reading Corner, perpustakaan merancang bentuk raknya (meskipun saya gak merancang sendiri sih, tapi nyontek dari gambar-gambar yang ada di Pinterest) dan memesannya.

Dalam penerapan literasi informasi, saya berhak bangga karena literasi informasi sudah dianggap sebagai salah satu learning tools yang harus dimiliki oleh civitas akademika sekolah saya. Sekolah kami merancang kurikulum khusus sesuai visi misi kami dimana literasi informasi tercantum di dalamnya. Bahwa dalam pelaksanaanya saya masih belum puas karena masih kurang waktu untuk mengajarkan keterampilan ini kepada siswa, sepertinya saya harus berlapang dada. Dengan padatnya tuntutan kurikulum, sulit bagi sekolah menyediakan slot khusus untuk kelas literasi informasi. Tapi saya diberi tugas untuk memahamkan pentingnya literasi informasi ini kepada semua guru. Sehingga literasi informasi menjadi salah satu materi bagi orientasi guru baru di sekolah kami.

Terakhir saya akan ceritakan sesuatu berkenaan dengan judul di atas. Saya menganggap banyak guru-guru di sekolah saya yang sudah mengerti literasi informasi dan menerapkannya dalam pembelajaran. Ada seorang guru yang menurut saya kreatif, pembelajarannya efektif dan disukai murid-murid. Meskipun tidak menyebut istilah literasi informasi, dia menerapkannya dalam proses belajar mengajar. Sering muridnya diajak belajar di perpustakaan dengan menggunakan berbagai koleksi perpustakaan, seperti buku, majalah dan komputer/internet. Konsep literasi informasi diterapkan dalam bentuk tidak boleh copy paste, tapi harus menyarikan informasi yang didapat. Memilih sumber informasi harus yang sesuai. Kadang kala dia telah mempersiapkan situs yang harus diakses muridnya. Maka saya turut gembira saat dia terpilih mewakili provinsi untuk OGN bidang bahasa Inggris.

Barusan dia datang ke perpustakaan. Dia bercerita bahwa penulisan best practice yang harus disampaikan harus dalam bentuk formal seperti karya tulis ilmiah. Padahal menurutnya best practice bisa ditulis dalam bentuk paparan sederhana yang menjelaskan prosesnya. Dalam hal ini saya setuju sih, saya juga gak suka yang ribet-ribet dan formal. Tapi namanya aturan harus diikuti, suka atau tidak suka. Jadi kami pun berdiskusi tentang apa yang bisa dia lakukan. Adalah kebahagiaan tersendiri bagi saya saat di akhir diskusi dia menemukan apa yang dapat dibuat dengan penulisan best practice yang diminta dalam lomba tersebut. Dia telah menemukan Aha! moment-nya. Karena saya? Bukaaan... saya cuma terlibat dalam dalam prosesnya saja. Dan situlah peran saya.

Harus diakui, profesi pustakawan adalah profesi yang jauh dari hingar bingar selebrasi. Apalagi pustakawan sekolah. Jika guru sering di-apresiasi oleh siswa (dalam bentuk diberi hadiah) saat kenaikan kelas atau kelulusan, pustakawan hampir tidak pernah mendapatkannya. Begitu juga mungkin pustakawan di instansi lain. Adakah yang ingat pustakawan  saat seorang pengacara berhasil memenangkan sebuah kasus, saat peneliti menyelesaikan penelitiannya atau saat mahasiswa lulus dalam sidang skripsi/tesis/desertasinya? Menurut saya profesi ini adalah profesi yang sunyi. Tapi saya tetap memilihnya dan mencintainya. Semoga bisa jadi amal dan sumbangsih kita pada komunitas dan masyarakat dimana kita berkiprah. So keep up the good work, friends...