Pages

Tuesday, October 29, 2013

Posting di Social Media



Berapa jenis akun sosial media (jejaring soasial) yang anda punya? Pembaca blog ini pasti punya minimal 1 akun sosial media. Facebook seperti hampir dimiliki sebagian besar kita. Apalagi?Twitter? Ini yang katanya lagi in. Apalagi di kalangan anak muda. Jadi inget waktu beberapa waktu yang lalu ada anak homestay dari Singapore. Mereka minta izin untuk menggunakan internet di perpustakaan. Saya mempersilahkan sambil menjelaskan bahwa situs pertemanan seperti Facebook hanya boleh diakses pada akhir pekan. Mereka bilang, no problem. We're no longer use Facebook, now it's Twitter that is in.
 Itu beberapa bulan yang lalu. Tapi, to tell you the truth, saya baru mencoba sosial media ini akhir-akhir ini. Buat akunnya sih sudah lama, tapi karena kurang familiar, gak pernah digunakan. Ah, rasanya saya manusia jadul banget deh...

Saya juga baru pakai Pinterest, meskipun sudah tahu sejak beberapa waktu yang lalu. Baru sekarang tergerak untuk buat akun. Ini karena saya sedang senang mencari ide-ide untuk rumah dan kebun. Eh, ternyata ini bisa juga juga hal lain seperti pengembangan diri dan hal-hal yang berhubungan dengan urusan pekerjaan. Saya buat beberapa board, tapi pin-nya belum banyak. Nanti saya akan jelaskan apa dan bagaimana Pinterest sambil mengenalkan Pinterest saya.

Sebenarnya apa sih sosial media itu? Rasanya hampir semua media di internet saat ini sudah bersifat sosial dalam arti bisa digunakan untuk bersosialisasi. Maklum sekarang kan internet sudah masuk versi Web 2.0 yang interaktif. Menurut Merriam-Webster dictionary, sosial media adalah bentuk komunikasi elektronik dimana penggunan membentuk komunitas maya untuk berbagi informasi, ide, pesan pribadi dan hal lain (video)
forms of electronic communication (as Web sites for social networking and microblogging) through which users create online communities to share information, ideas, personal messages, and other content (as videos) . http://www.merriam-webster.com/dictionary/social%20media, diakses pada 24 Oktober 2013.
Dengan adanya smartphone, social media lebih meluas lagi penggunaannya karena dapat diakses melalui ponsel. Bentuk dan salurannya banyak sekali. Dulu sekali kita kenal Friendster dan Multiply. Sekarang Facebook, dan Twiiter. Tentu saja juga ada banyak jejaring sosial yang bersifat lokal.


Jadi apa saja social media itu? Wah, ya banyak sekali. Yang terpopuler di Indonesia pada tahun 2012 menurut Ptira Satvika dari StrategoCorp adalah:
1. Twitter
2. Facebook
3. Multiply
4. Kompasiana
5. Kaskus
6. MindTalk
7. Mig33
8. LinkedIn
9. Pinterest
10. Google Plus (g+)
http://www.trenologi.com/201212318289/statistik-saluran-media-sosial-populer-di-indonesia-tahun-2012/ diakses pada 24 Oktober 2013.

Tadinya saya menulis itu semua itu sebagai pengantar untuk untuk menulis ulang apa yang saya baca dari sebuah artikel di Lifehack.org yang berjudul "Which social media should post that thing you want to share on". Ada info graphic yang ditampilkan, seperti berikut ini:




Entah ini serius, atau sekedar gurauan, karena sumbernya dari CollegeHumor. Tapi bisa saja kita gunakan ini sebagai panduan sekaligus mengenal social media sesuai fungsi nya yang mungkin media tersebut tidak terlalu populer di Indonesia. Artikel tersebut menyimpulkan dari infografik diatas bahwa jika kita kita ingin menyampaikan suatu hal fakta yang menarik atau pencerahan, sebaiknya jika posting di Reddit atau Tumblr atau Twitter jika isinya tidak lebih dari 140 karakter. Jika ingin menyampaikan apa yang kita rasakan, media yang pas adalah Facebook. Untuk menampilkan foto menarik, gunakan Instagram. 

Tapi sepertinya sih, kebanyakan kita menyampaikan itu semua di satu media saja: Facebook 


Monday, March 11, 2013

Bangsa Yang Berhenti Membaca

Sebuah "scoop" dari subject yang saya ikuti di Scoop it, menarik perhatian saya. Berikut saya tulis ulang  secara bebas. Artikel ini ditulis oleh seorang penulis Mexico, David Toscana,  dalam bahasa Spanyol yang kemudian ditulis dalam bahasa Inggris oleh Kristina Cordero dan dimuat di New York Times tanggal 6 Maret 2013. Artikel aslinya dapat dibaca disini :
-------------------

Bangsa yang berhenti membaca

Ini adalah kesimpulan David Toscana tentang kebiasaan membaca dan dunia pendidikan pada umumnya di Meksiko. Dia mengawali tulisannya dengan pernyataan bahwa saat ini di Mexico lebih banyak orang yang bersekolah tapi ternyata lebih sedikit yang benar-benar belajar. Tingkat literasi, untuk sebatas kemampuan baca dasar seperti membaca marka jalan atau koran, boleh jadi meningkat tapi untuk membaca buku yang sebenarnya sama sekali tidak.

Meskipun mengalami peningkatan di bidang industri dan menghasilkan lebih banyak insinyur, tapi Mexico mengalami penurunan drastis secara sosial politis dan ekonomis karena sebagian besar penduduknya tidak membaca. Lantas apa upaya Pemerintahnya? Segera setelah menjabat Presiden Baru Mexico, Enrique Peña Nieto, mengeluarkan program pembaharuan pendidikan. Salah satunya dengan memenjarakan Ketua serikat guru Mexico ke penjara dengan tuduhan penggelapan uang sebesar 200 juta dolar.

Entah tuduhan itu benar atau tidak, tapi ternyata memang dunia pendidikan Meksiko memiliki masalah serius dengan guru. Kementrian pendidikan Mexico lebih banyak berkonsentrasi pada masalah guru dan serikatnya dan bukan pada peningkatan pendidikan secara umum. Serikat guru di Mexico lebih sering berdemo dibanding serikat pekerja lainnya. Dan yang lebih memprihatinkan, guru-guru inipun kurang pendidikan profesionalnya. Mereka kebanyakan mewarisi pekerjaan ini atau membelinya. Ia menyaksikan sendiri pada demo besar-besaran tahun 2008 di Oaxaca. Diantara puluhan ribu guru yang mogok tersebut tak satu pun ada yang membaca buku. Yang ada mereka menyalakan musik disko keras-keras, bermain kartu, menonton tivi atau membaca majalah gosip.

David Toscanao menambahkan keprihatinannya dengan menceritakan pengalamannya dalam sebuah acara promosi membaca di hadapan 300 murid sekolah. Ketika dia menanyakan siapa yang suka membaca, hanya ada 1 (satu) yang tunjuk tangan. Ketika audiens ditanya kenapa tidak suka membaca, tidak ada yang bisa menjawab dengan kalimat jelas dan tegas selain bergumam dan menggerutu dengan tidak sabar. Bahkan guru yang mendampingi murid-murid tersebut pun tidak mau mendukung saat Mr. Toscana meminta semua hadirin mengambil buku untuk dibaca. Pengalaman nyata yang dialami putrinya juga sama memperihatinkannya. Saat berusia 15 tahun (mungkin sekitar kelas 9 atau kelas 10), guru bahasanya menghapus fiksi dari daftar bacaan di kelas. "Kami hanya akan membaca buku biologi dan sejarah. Dengan demikian kami membaca sekaligus belajar". Sekolah-sekolah di Meksiko, dan mungkin juga di beberapa negara lain, lebih mementingkan apa yang mudah diajarkan daripada apa yang benar-benar perlu dipelajari oleh murid. Dengan demikian, kemanusiaan jadi tersisihkan.

Upaya peningkatan minat baca bukannya tidak pernah dilakukan. Pada tahun 2002, President Vicente Fox meluncurkan kampanye membaca dengan memilih seorang pemain sepakbola terkenal, Jorge Campos, sebagai duta baca. Jutaan bukupun dicetak dan perpustakaan dibangun. Tapi sayangnya gurunya tidak mendapatkan pelatihan dan tidak ada waktu khusus untuk membaca di sekolah. Program itu lebih berfokus pada buku dibanding pada pembacanya. Akibatnya buku banyak menumpuk di gudang, berdebu dan akhirnya dibuang karena rusak atau lembab.

Beberapa tahun sebelumnya, Mr Toscano pernah berbicara dengan Menteri Pendidikan Mexico tentang membaca di sekolah. Ia tidak dapat mengerti apa yang diinginkan oleh Mr. Toscano. Menurutnya di sekolah sudah diajarkan membaca. Dan menurutnya tidak perlu murid membaca buku semacam "Don Quixote", yang penting mereka bisa membaca surat kabar.

Masalah di Meksiko bukanlah terletak pada anggaran. Mereka menganggarkan lebih dari 5 % produksi domestik bruto (GDP)-nya untuk pendidikan, presentase yang hampir sama dengan di AS. Bukan pula terletak pada metodologi pendidikan yang tepat untuk mengatasi permasalahan ini. Yang diperlukan adalah perubahan tujuan pendidikan itu sendiri, yang seharusnya mengarah pada pembiasaan membaca. Mungkin malah Pemerintah Mexico sendiri yang tidak ingin rakyatnya benar-benar jadi terpelajar. Buku dapat memberi inspirasi, menumbuhkan cita-cita dan ambisi serta harga diri. Mereka takut jika rakyat jadi lebih berpendidikan mereka akan menuntut pendidikan yang lebih dari sekedar pelatihan untuk menjadi tukang.
========================

My insight:
Mudah-mudahan kita tidak mengalami hal seperti Mexico. Tanda-tandanya hampir ada. Saat ini boleh dibilang dunia perbukuan dan kegiatan membaca di Indonesia mengalami penurunan. Dewan Buku sudah dibubarkan. Pemilihan atau penghargaan buku berkualitas tidak ada.

Secara pribadi saya menilai saat ini sulit menemukan buku karya asli (bukan terjemahan) yang baik dan menarik. Buku anak kebanyakan ditulis oleh anak-anak juga. Di satu sisi, anak-anak sudah bisa menulis dan karyanya layak diterbitkan adalah hal yang membanggakan. Disisi lain kualitasnya tidak bisa sebaik yang kita harapkan, karena bagaimana pun anak-anak ini belum memiliki pemahaman penuh terhadap realitas dan belum memiliki tehnik penyampaian nilai yang baik.

Buku remaja kebanyakan berkisar tentang fiksi romantis, hantu-hantuan atau humor-humor dangkal. Ini tidak sepenuhnya salah juga, karena biar bagaimana buku-buku seperti ini cukup berjasa menjembatani remaja dengan buku. Kita tahu remaja saat ini lebih suka menggunakan internet dan ponsel dalam kesehariannya.
Untuk penerbitan buku umum, temanya berkisar tentang resep masakan, mode (khusunya jilbab), motivasi, traveling, buku how to, dan sedikit tentang biografi dari tokoh yang sedang naik daun. Banyak buku yang berasal dari tweet atau kumpulan tulisan blog. Sedikit sekali saya temukan buku yang ditulis denganbaik dan 'serius' yang menggugah saya untuk membaca (karena saat ini minat dan kebiasaan membaca saya sedang turun).

Di sekolah, sedikit sekali yang menyadari pentingnya membaca buku. Hanya sedikit guru yang menganjurkan murid membaca buku di luar buku teks pelajaran. Seorang rekan guru mengeluhkan kurangnya daya tahan murid membaca dan kurangnya dukungan guru lain dalam menciptakan iklim membaca untuk kesenangan atau untuk memenuhi rasa ingin tahu. Ia bahkan mengeluhkan kurangnya guru yang bisa membangkitkan rasa ingin tahu murid.

Saya sendiri sebagai pustakawan di sekolah, sudah agak lama menyerah terhadap keadaan ini. Tulisan ini dan obrolan dengan rekan guru yang merasakan keprihatinan yang sama menyadarkan bahwa saya harus berbuat sesuatu. Seberapa pun kecilnya itu, harus dimulai dari saya. Dan mulai dari sekarang.